Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Malem Suran", Refleksi Spiritual Masyarakat Jawa

15 Maret 2018   04:45 Diperbarui: 15 Maret 2018   05:47 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: polresjogja.com
Sumber: polresjogja.com
Selama melakukan tradisi Mubeng Beteng, seluruh peserta akan berjalan dengan khidmat dan sekaligus melakukan tapa bisuyakni tidak berbicara antara satu dengan lainnya. Karena seluruh panca inderanya diusahakan untuk dikunci, agar indera keenamnya terfokus pada Tuhan. Dalam keheningan di balik gemuruh langkah ribuan pasang kaki itulah, seluruh peserta berusaha melakukan pendekatan diri pada Tuhan. Sang Pencipta Alam dan Seisinya.

Sesudah pelaksanaan Mubeng Beteng berakhir, seluruh peserta melakukan doa bersama sebagaimana dilakukan sebelum dimulainya upacara itu. Dari doa-doa yang mereka lafalkan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Mubeng Beteng bukan sekadar melestarikan tradisi tersebut, namun lebih sebagai laku spiritual yang diharapkan dapat memberikan dinamika hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Sehingga kehidupan akan menjadi tenteram dan sejahtera. Jauh dari segala bencana.

Berkembang dan punahnya tradisi Jawa adalah tergantung pada masyarakat Jawa itu sendiri. Sebagaimana tradisi Jawa lainnya, tradisi Malem Suran (Mubeng Beteng) pun akan mengalami sekarat jika tidak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak terkait. 

Karena itu, peran seorang sesepuh (orang yang dituakan) untuk selalu menyampaikan nilai-nilai positif yang terkandung di dalam tradisi Malem Suran pada generasi muda. Mengingat para pendidik dari dunia akademis formal tidak pernah menyentuh pada persoalan tersebut.

Di samping itu, peran dari beberapa Komunitas Spiritual Jawa yang masih peduli dengan upacara tradisi Mubeng Beteng di Malem Suran tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata. Dikarenakan tradisi tersebut memberikan kesadaran spiritual pada manusia untuk selalu eling lan waspada (ingat dan waspada). Ingat pada Tuhan yang selalu memberikan rahmat. Waspada atas segala cobaan di zaman yang semakin gila.

Apabila berbagai pihak terkait telah melakukan perannya dengan baik, maka tradisi Malem Suran dan tradisi-tradisi lainnya yang masih hidup akan dapat dipertahankan secara turun-temurun. 


Mengingat generasi berikutnya yang memahami tentang tingginya nilai-nilai di balik tradisi tersebut senantiasa berusaha memertahankan secara optimal. Di sinilah, kunci untuk melestarikan tradisi di lingkup masyarakat Jawa sendiri. [Sri Wintala Achmad]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun