"Ya, Ramane. Tapi...." Jureni mendadak cemas, sebelum tahu benar alasannya. "Memangnya ada apa dengan Gus Badra?"
"Simpan pertanyaanmu, Biyunge!" Jarana beranjak dari kursi. "Aku harus pergi malam ini."
"Kemana?"
"Tak perlu kamu tahu! Yang penting, kamu melaksanakan pesanku tadi. Menjaga Gus Badra dengan sebaik-baiknya."
"Ya sudah, Ramane. Jaga dirimu baik-baik!"
Jarana meninggalkan ruangan ndalem jero. Meninggalkan rumah Ki Ageng Karanglo. Berjalan setengah berlari menuju rumah Jagabaya. Hasrat hati, Jarana ingin meminta bantuan pada petugas keamanan Desa Karanglo. Turut menangkap dua lelaki asing di rumah Nyi Wisanti.
***
PURNAMA telah jauh oleng ke langit barat. Langit yang tak berawan masih serupa lautan bagi bintang-bintang. Bintang Panjer Rina sudah mulai tampak di langit timur dengan sinar terang berwarna kuning keemasan. Sementara derik jengkerik dan nyanyian ribuan serangga masih tertangkap gendang telinga.
Dari balik rumpun bambu petung di samping rumah Nyi Wisanti; Mahisa Bumi, Mahisa Geni, dan Mahisa Tirta masih memantau dua lelaki yang menginap di rumah janda itu. Ketiga murid Ki Ageng Karanglo yang terkenal sakti mandraguna itu saling berpandangan manakala menangkap suara cekikikan Nyi Wisanti dengan diselingi kata-kata jorok pembakar hasrat berahi.
"Benar-benar anjing!" Mahisa Bumi memaki-maki dengan nada setengah tertahan. "Tak hanya Nyi Wisanti, namun juga kedua lelaki itu sudah sama-sama gilanya. Bagaimana mereka bisa berkelakar soal kelamin dengan bebas. Apakah dunia yang sudah pikun ini hampir kiamat?"
"Kita dobrak saja pintu rumah perempuan brengsek itu!" Mahisa Geni berang. "Kita hajar kedua lelaki asing itu beramai-ramai!"