"Kalau tak lupa, mulutmu nanti bisa nerocos pada tetangga. Mengatakan kalau Gus Badra bukan anak kita. Tapi, putera Gusti Ayu Pembayun. Itu sangat berbahaya!"
"Bahaya?" Jureni bertanya pada Jarana dengan nada lantang hingga anak-anak yang masih bermain itu menoleh ke arah mereka. "Apanya yang berbahaya?"
"Apakah kamu lupa dengan pesan Ki Ageng Karanglo, sewaktu beliau memerintahkan pada kita untuk merahasiakan kalau Gus Badra sebagai putera Gusti Ayu Pembayun?"
"Sebentar, Ramane! Aku ingat-ingatnya dulu pesan Ki Ageng!" Jureni yang tengah memikirkan tentang pesan Ki Ageng Karanglo itu tampak samar-samar mengernyitkan dahinya di bawah cahaya purnama. Â Selang tiga hembusan napas, Jareni mengangguk-anggukkan kepala. "Ya..., ya..., ya.... Aku ingat sekarang apa yang dipesankan oleh Ki Ageng."
"Coba katakan apa pesan beliau!"
"Pesan beliau: 'Jarana dan kamu Jureni, rahasiakan kalau Thole Badra adalah putera Gusti Ayu Pembayun. Bila kalian dapat merahasiakannya, aku akan kasih kalian hadiah yang setimpal.' Bukankah begitu pesan Ki Ageng?"
"Bukan pesan itu yang aku maksud!"
"Lantas.... Pesan yang mana lagi?"
"Pesan yang menyatakan kalau kita tak dapat melaksanakan perintah Ki Ageng, kepala kita yang akan menjadi taruhannya. Apakah kamu masih ingat dengan ancaman Ki Ageng itu?"
"Ehm...." Jureni berteriak. "Ya! Aku ingat sekarang."
"Ingat, ya ingat. Tapi jangan berteriak! Lihat! Anak-anak sampai menoleh ke arah kita."