Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Orang Gila di Pelabuhan

1 Maret 2018   15:02 Diperbarui: 1 Maret 2018   20:50 2420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokumen pribadi

"Dari caramu membaca puisi. Dari caramu mengisap sigaret. Dari caramu memandang lautan yang menyerupai bentang kehidupan," jawabku enteng. "Aku mengagumimu lebih dari politikus negeri ini yang sekadar pintar beretorika, namun hatinya sebusuk bangkai tikus."

"Tapi tak segila dirimu?"

"Apa aku gila?"

"Hanya orang gila yang mengagumi orang gila seperti diriku ini." Lelaki itu tertawa aneh. "Tapi tak mengapa? Di zaman jungkir-balik, orang waras akan dianggap gila. Orang gila dianggap waras. Politikus-politikus yang korupsi bermiliar-miliar rupiah dianggap wajar. Orang-orang jujur yang mengabdi pada keluhuran budi lewat sastra dianggap gemblung."

Sebagaimana lelaki itu, aku tertawa lepas. Selang beberapa saat, aku mendadak sedih. Manakala wajahnya tampak menyiratkan kedukaan. Kedua matanya berkaca-kaca serupa sepasang batu cincin yang telah sempurna digosok dengan serbuk intan. Air matanya meleleh di pipi yang kusut.

"Kenapa kau bersedih?"


"Sudah berbulan-bulan aku menunggu Aryati-ku di sini, namun tak pernah kunjung datang. Kapal-kapal yang datang hanya mengantarkan TKW liar dan penyelundup narkoba."

"Barangkali Aryati tak pernah datang, sebagaimana Ratu Adil yang hanya ada di alam ide orang-orang Jawa," celetukku. "Karenanya, aku mulai curiga. Aryati hanya ada dalam alam idemu. Ide dari seorang penyair yang selalu merasa kesepian dari cinta dan keadilan di tengah zaman jungkir-balik."

Lelaki itu terdiam. Demikian pula, aku. Terdiam dalam kebisuan senja yang turun bersama dinginnya udara dari puncak bukit. Tidak sebagaimana ia yang tetap duduk di bangku, aku tinggalkan pelabuhan dengan kapal-kapal yang mulai menyalakan lampunya.

Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa diriku senasib dengan lelaki itu. Merasa kesepian di dalam rumah yang bermandikan cerlang cahaya, namun tak memberikan cinta dan keadilan. Rumah yang menyerupai bangunan negeri ini. Terkesan megah dengan slogan besarnya, namun tak memberikan kenyamanan cinta dan keadilan pada seluruh rakyatnya. Karenanya, keputusanku telah bulat untuk hidup menggelandang seperti lelaki di pelabuhan itu. Hidup dengan cara orang gila, agar dapat melupakan segala persoalan yang mendera.

Pagi hari, aku tinggalkan rumah. Dengan t-shirt kumal, jeans robek di bagian lutut, dan sandal jepit selen; aku menuju pelabuhan. Tak ada tujuan, selain kembali menemui lelaki itu. Belajar menulis dan membaca puisi padanya. Sambil berharap datangnya cinta dan keadilan dari langit atas negeriku yang telah menyerupai perahu dengan koyak-moyak layarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun