"Di zaman jungkir-balik, orang waras akan dianggap gila. Orang gila dianggap waras. Politikus-politkus yang korupsi bermiliar-miliar rupiah dianggap wajar. Orang-orang jujur yang mengabdi pada keluhuran budi lewat sastra dianggap gemblung."
***
RAMBUT lelaki tigapuluhan yang duduk di bangku pelabuhan itu kumal seperti sekian bulan tak tersentuh air shampoo. Wajahnya kusam serupa langit berlapis awan. Setangkup bibirnya yang kering pasi terus mengisap sigaret murahan. Matanya cekung tak bercahaya. Menatap jauh ke lautan. Terkadang menyelisik di celah-celah deretan kapal yang berlabuh.
Orang-orang yang aku tanya tentang lelaki itu mengatakan, "Ia orang gila!" Lanjut orang-orang, "Hampir setiap hari, ia selalu membaca puisi. Ia pula sering meneriakkan nama Aryati."
Semakin penasaran aku untuk tahu siapa sebenarnya lelaki itu. Karenanya bila sedang mencari udara menjelang senja di tepi pelabuhan, aku menyempatkan ngopi di warung milik Barzizah. Mencari tahu identitas lengkap lelaki yang mengingatkanku pada salah seorang nama penyair besar di negeri ini. Negeri yang tengah dijajah oleh bangsanya sendiri.
"Penyair besar?" tanya Barzizah sambil tertawa ngakak. "Masak penyair besar seperti orang gila. Mau ngopi, ngrokok, dan nyarap; kalau aku kasih. Mbok jangan mengada-ada? Nanti aku bisa ikut gila!"
"Benar, Yu!" ucapku tegas. "Keyakinanku, ia adalah Chairil Anwar. Penyair besar yang kembali dilahirkan di muka bumi untuk mendapatkan cinta Aryati. Gadis pujaannya yang terus mengganggu di alam kematian sebelumnya."
"Sudahlah, Dik Win! Jangan ngelantur! Apakah kau sudah ikut gila? Masak orang mati dapat lahir kembali di dunia?"
Tak mau berdebat panjang-lebar dengan Barzizah, aku tinggalkan warung sesudah membayar secangkir kopi. Menghampiri lelaki yang masih duduk di bangku pelabuhan. Dari caranya memandang laut, aku semakin yakin. Ia adalah reinkarnasi Chairil. Terlebih ketika ia menunjuk mercusuar pelabuhan, sambil membaca puisinya Senja di Pelabuhan Kecil dengan penuh misteri.
"Luar biasa!" pujiku sambil bertepuk tangan atas bacaan puisi yang baru saja dituntaskan oleh lelaki itu. "Sungguh baca puisi yang sempurna. Aku kagum kepadamu, Tuan Chairil."
"Dari mana kau tahu namaku?"