Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Fajar di Langit Donan [Babad Cilacap]

20 Februari 2018   23:16 Diperbarui: 20 Februari 2018   23:22 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencerna penuturan Dipayuda, murka Tumenggung Cakrawedana serupa kobaran api unggun yang padam di bawah langit menderaskan hujan. Ia tertunduk lemas. Dadanya yang bidang berbulu lebat itu naik-turun. "Lantas, hukuman apa yang pantas aku jatuhkan pada Dipayuda?"

"Bukan hukuman, Gusti Nggung. Tetapi, anugerah yang berupa sebagian kecil wilayah Banyumas untuk dijadikan pedukuhan Denmas Cakradimeja. Dengan menjauhkan Denmas Cakradimeja dari kebijakan ndalem katumenggungan Cakrawedanan, Banyumas akan tetap aman. Jauh dari perselisihan keluarga. Terbebas dari pertumpahan darah."

"Pendapatmu sungguh cerdas!" Wajah Tumenggung Cakrawedana senampak purnama seusai melepaskan cadar awan. "Sekarang, panggilkan Cakradimeja! Aku ingin bicara dengannya."

Dipayuda keluar dari ruangan. Menuju ndalem Cakradimejan. Tanpa Singayuda, ia membawa Cakradimeja ke hadapan Cakrawedana. Ia kembali memasuki ruangan. Dimana, penguasa Banyumas itu masih duduk di kursi kayu jati berukir. Berprada emas.

"Cakradimeja." Cakrawedana membuka pembicaraan. "Sudah waktunya kamu pikirkan masa depanmu. Masa depan yang harus kamu perjuangkan dengan sepenuh daya. Agar di hari tuamu kelak, kamu dapat mendapatkan kamulyan yang tidak akan habis tujuh turunan."

"Maaf, ayahnda. Apa maksud di balik petuah itu?"

"Sebagai orang tua, selayaknya aku berbuat bijak. Tidak membiarkan keturunanku kelak hidup dalam kesengsaraan. Karenanya, anakku. Sebelum terbit matahari, tinggalkan Banyumas! Pergilah ke Cilacap! Bukalah hutan Donan sebagai pedukuhanmu!"

"Bukankah ayahnda sedang mengusirku, agar jauh dari urusan politik di ndalem katumenggungan Cakrawedanan?"

"Bukan itu maksudku." Cakrawedana berpikir keras untuk memberikan jawaban yang tepat. "Tidak ada maksud apa pun, selain aku ingin mempersiapkan masa depanmu. Apakah kamu pernah belajar pada seekor kekupu? Sebelum mengisap sari bunga, ia berprihatin sebagai ulat. Bertapa sebagai kepompong?"

"Sekarang, aku tahu maksud ayahnda. Karenanya, ananda mohon pamit. Memenuhi perintah ayahnda. Membuka hutan Donan."

"Tunggu sebentar!" Cakrawedana melemparkan pandang ke arah Dipayuda sebelum menyampaikan pesan terakhir pada Cakradimeja. "Anakku! Hendaklah kepergianmu ke Donan tidak seorang diri. Bawalah Dipayuda dan Singayuda! Ajak serta pamanmu Singawedana! Aku percaya, ia akan menjadi penasihat saat kamu menghadapi rintangan. Ingat! Hutan Donan bukan sembarang hutan. Satwa liar dan bangsa bekasakan masih tinggal berdampingan di sana."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun