GURUNDA ACHSIN SANG JEMBATAN YANG RAKUS ILMU PENGETAHUAN (SEBUAH OBITUARI)
Achdiar Redy Setiawan*
"Ojo salah dan tertinggal lho nulis jenengku di halaman tesismu, Red". Demikian pesan penting yang meluncur dari lisan Beliau saat tesis S2 Akuntansi hendak dicetak. Sehari kemudian, ketika draf saya sodorkan (merujuk kepada dokumen di Tata Usaha Prodi), langsung Beliau menukas sembari tersenyum, "Masih ada yang kurang itu. Ubah dan print lagi sebelum kutandatangani.". Maka edisi revisi pun ditulis lengkap sebagai berikut: Dr. Dr. Mochammad Achsin, S.E., S.H., M.M., M.Kn., M. Ec. Dev, M.Si., Ak, CA, CPA.
Secara formal, Beliau adalah dosen senior di Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Malang. Tapi minat keilmuannya merentas bidang ilmu lain. Sebenarnya ada beberapa gelar profesi non-akademis lainnya yang saya tidak dapat tepat menuliskannya (sebut saja terkait profesi penilai, likuidator, kurator dll). Selain mengajar dan membimbing di kampusnya hingga pensiun, Beliau juga aktif berpaktik sebagai akuntan publik. Beberapa profesi lainnya juga dirambahnya, seperti auditor investigasi, penilai (valuer/appraisal), likuidator dan lainnya.
Di mata kolega, sahabat dan muridnya, Pak Achsin, demikian kami karib menyapanya, adalah figur yang haus ilmu. Passion-nya tidak berhenti di ilmu akuntansi yang menjadi core competence-nya. Jika menilik gelar akademik yang tersebut di atas, Beliau menempuh pendidikan doktoral di dua bidang ilmu: akuntansi dan hukum. Beliau juga memasuki ilmu lainnya seperti hukum, kenotariatan, psikologi, ekonomi pembangunan, manajemen dan filsafat islam. Dalam sebuah pemberitaan di media massa nasional, Pak Achsin termasuk lima besar pemegang gelar akademik dan non-akademik di Indonesia (baca: https://www.tempo.co/politik/5-orang-indonesia-dengan-gelar-akademik-terbanyak-1186350)
Dalam berbagai kesempatan, Pak Achsin kerap menuturkan bahwa apa yang dilakoninya dengan belajar banyak hal adalah sebuah pilihan sadar. Bahwa ketika tahu tentang sebuah hal, esensinya sesungguhnya semakin banyak yang tidak diketahui. Ajaran agama yang meminta manusia menimba ilmu dari lahir hingga mangkat (minal mahdi ilal lahdi) senantiAsa dipegangnya. Baginya, tak pernah ada kata terlambat untuk belajar (apapun).
Dalam keseharian, Pak Achsin adalah jembatan lintas generasi dan golongan. Karakternya yang ramah dan mudah bergaul menjadi penghubung pelbagai kepentingan, baik di dunia kampus maupun profesi. Di UB, pria kelahiran Bojonegoro ini bisa masuk ke pelbagai elemen. Sebagai salah satu dosen yang terkategori angkatan awal (1980-an), Beliau berkomunikasi dengan baik ke para guru senior. Kepada dosen angkatan 1990-an dan 2000-an pun Beliau dengan lincah bercengkerama. Dengan kalangan tenaga kependidikan pun beliau sangat mudah membaur.
Tatkala terjadi dinamika di kampus UB (terutama di Jurusan Akuntansi dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis), kehadiran Pak Achsin senantiasa dinanti. Salah satu contoh ialah tatkala sekitar 2000an-2010an muncul diskursus akademik tentang Akuntansi Multiparadigma di dunia persilatan akuntansi (jenama ‘Multiparadigma’ kemudian menjadi penciri UB hingga saat ini), Pak Achsin mampu berkomunikasi dengan akademisi yang pro maupun kontra dengan baik. Baginya, multiparadigma adalah ikhtiar pencarian kebenaran ilmu pengetahuan (akuntansi) yang harus sama-sama diberikan kesempatan hidup dan berkembang (mutually inclusive). Setiap insan akademik sama-sama bisa menggunakan, tergantung tujuan riset dan asumsi yang diusung.
Kehadiran terma multiparadigma ini pada perjalanan sejarah berikutnya memberi ruang yang lebih lega pada pengembangan ilmu. Akuntansi menjadi lebih berwarna. Tidak hanya berporos pada satu paradigma mainstream (positivis atau pendekatan kuantitatif), tapi juga menerima perspektif lainnya seperti interpretivis, kritis, posmodernis hingga religius. Akuntansi juga bisa didekati dengan dimensi kelimuan lain. Akuntansi bisa kawin dengan ilmu hukum, sosiologi, psikologi, sejarah, linguistik hingga ilmu agama. Pak Achsin adalah manusia di balik layar yang bergerak dalam sunyi untuk mendukung multiparadigma ini eksis hingga kiwari.
Tidak hanya berwacana, Pak.Achsin memberikan dukungan kongkrit saat menuliskan disertasinya pada Program Doktor Ilmu Akuntansi (PDIA) UB. Beliau mengangkat topik tentang visum akuntansi forensik sebagai bukti dalam perkara tindak pidana korupsi. Beliau mencoba mengeksplorasi dan mengintegrasikan ilmu akuntansi dan pengauditan dengan ilmu hukum (pidana). Hasil risetnya menyumbang kontribusi untuk memperkaya khazanah pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Selain urusan akademik, pada urusan pengelolaan kampus pun, Beliau juga adalah sosok yang disegani semua kalangan. Apabila terjadi dinamika yang bernuansa konflik, Beliau menembus sekat-sekat komunikasi untuk pencarian solusi. Meski kesibukannya tergolong tinggi (lintas profesi dan lintas kota) setiap pekannya, ketika almamaternya memanggil, Pak Achsin berusaha hadir membawa jalan solusi.
Di dunia profesi akuntan pubik, nama Pak Achsin juga masuk ke semua lini. Sebagai auditor yang berasal dari KAP (Kantor Akuntan Publik) "daerah" dan "kecil", Pak Achsin berhasil mewarnai di IAPI (Ikatan Akuntan Publik Indonesia), asosiasi yang menaungi akuntan publik. Lazimnya, IAPI dikuasai oleh para profesional yang berlatar dari KAP "besar" (baca: Big-Four Accounting Firm) dan terafiliasi asing (juga berpusat di Jakarta). Pada sebuah periode kepengurusan, Pak Achsin berhasil menembus belantara dominasi itu dengan bercokol di salah satu pucuk pimpinan IAPI.
Pada masa itu, kiprahnya terhitung fenomenal. Beberapa terobosan besar diusung dan dimunculkan. Beliau memiliki visi besar untuk menciptakan tata permainan yang lebih sehat dan berkeadilan pada dunia profesi akuntan publik. Walaupun mimpinya belum berhasil benar, setidaknya ikhtiar itu telah dicobanya dengan serius bersama rekan-rekan seperjuangannya.
Pelbagai cerita di atas saya dengar berkali kali secara langsung dalam setiap kesempatan bersua. Saya beruntung mendapatkan priviledge untuk "dekat" dengan Pak Achsin. Intensitas semakin tinggi saat saya menempuh pendidikan Magister Akuntansi di UB. Selain di kelas-kelas perkuliahan, saya memiliki waktu yang lebih banyak tatkala Beliau didapuk menjadi Pembimbing II (Co. Supervisor) tesis saya. Kebetulan, saya juga mengambil topik yang relatif dekat dengan disertasi Beliau, yaitu sisi remang pada pengelolaan keuangan daerah.
Saat di kelas, Pak Achsin juga tergolong nyentrik. Beliau satu-satunya dosen yang dengan lugas meminta izin mengajar di kelas sambil merokok. Pak Achsin menukas, "saya minta izin merokok ya. Kalau tak boleh, ya berarti kelas ini tak bisa diteruskan". Sejurus kemudian, Beliau meminta mahasiswa perempuan untuk duduk di belakang. Kaum Adam diminta duduk di depan agar kaum hawa tidak terlalu terpapar asap rokok. Jika kebetulan stok rokoknya habis, Beliau biasanya akan menyuruh saya membelikannya, "Red, rokokku habis, tolong belikan ya. Yang biasanya ya". Saya yang tahu merk rokok kesukaannya (Dji Sam Soe Filter bungkus hitam) akan langsung bergegas menuju kedai rokok terdekat.
Pada saat pembimbingan tesis, ada banyak lagi kesempatan berdiskusi. Tapi lucunya, sebenarnya tidak ada diskusi intensif terkait substansi tesis kala kami bertemu. Beliau bertutur bahwa saya cukup bisa diandalkan untuk bisa dilepas menulis sendiri. Dalam 2-3 jam kami bercengkerama setiap sesi itu, mungkin hanya 15-20 menit saja kami membahas tesis. Selebihnya, kami ngobrol ngalor-ngidul tentang berbagai diskursus.
Alhasil, banyak ilmu dan hikmah kehidupan saya peroleh saat diajak majelis diskusi ini. Biasanya, saat beliau longgar (selepas kesibukannya yang berjibun), beliau WA atau telpon, "Red, ada di mana? Nggak mau bimbingan tah? Aku di rumah iki". Kebiasaan ini biasanya dilakukan saat malam hari. Kami bertukar pikiran tentang banyak hal. Filsafat, hukum, sosiologi hingga tasawuf. Saya yang juga termasuk rakus ilmu (tidak terbatas akuntansi) menjadi sangat kenyang setiap selesai masa persamuhan ini. Saya biasanya tidak boleh pulang hingga beliau sendiri mengusir halus karena merasa cukup untuk kemudian pergi berehat tengah malam itu.
Apabila ada buku yang baru dibeli oleh Beliau, tak jarang saya disuruh Beliau untuk dibawa pulang. Tugasnya adalah membacakan buku itu dan hasilnya akan didiskusikan pada perjumpaan berikutnya. Tentu saja, buku-buku itu bukan tentang akuntansi (heuheuehueu), tapi lintas ilmu. Saya sangat bahagia kalau sudah mendapat perintah begini ini. Tanpa harus membeli (buku-bukunya tebal dan mahal biasanya), saya dapat melahapnya dengan gratis.
Dalam beberapa kali kesempatan, Pak Achsin menceritakan bahwa Beliau melihat sosok saya seperti dirinya pada usia yang sama. Haus ilmu, diajak diskusi apapun nyambung, banyak teman dan bisa diterima semua kalangan. Pada titik inilah, saya merasa memang ada chemistry yang kuat dan frekuensi yang sama. Itulah mengapa kami "connected".
Saya banyak diberi "ijazah" amalan hidup yang menurut Beliau berguna untuk saya jalankan. Termasuk dalam diskursus tentang poligami. Dalam pandangan Beliau, dengan segala pengalaman yang melekat pada perjalanan hidup Beliau, seorang Achdiar Redy (Beliau menyebut satu nama lagi: Rahmat Zuhdi adik bungsunya) punya modal dasar dan potensi untuk mampu melakoni. Hanya satu bedanya kata Beliau, "Awakmu kurang kendel (Bahasa jawa: berani). Kalau berani, jangan takut-takut. Tapi kalau takut ya jangan berani-berani". Kalau sudah sampai pada diskusi bab ini (baca: poligami), saya hanya dapat tertawa dan minta ampun bahwa memang sepertinya saya angkat tangan kalau urusan itu hingga hari kiamat datang. Hahahaha.
Kegayengan dan kehangatan dengan Beliau sebagai guru (dan juga bapak sendiri) berlanjut hingga saya telah lulus kuliah S2. Dalam setiap kesempatan, saya berusaha menjumpai di kediamannya apabila Pak Achsin sedang ada waktu senggang. Rumah Gajayana, Mertojoyo, Kalindra menjadi saksi betapa asyiknya diskusi kami.
Pun setelah saya mendengar Beliau jatuh sakit, saya beberapa kali bertandang ke rumahnya di Malang. Memang, sebagai pria flamboyan dan eksentrik, agak sulit menasihati beliau urusan menjaga kesehatan ini. Sebagai contoh, tatkala terkena serangan stroke, dokter menganjurkan berhenti merokok dan menjaga pola makan. Tetapi saat merasa sudah pulih, Beliau kerap melanggarnya. Apalagi saat pernah menjalani terapi kepada Dr. dr. Terawan dan merasa hasilnya positif, pelbagai pola hidup tak sehat kembali dilakoninya.
Berbagai akumulasi penyakit inilah yang kemudian memperburuk kondisi kesehatannya. Saat terakhir kali sambang sekitar akhir tahun 2024, saya meminta doa untuk saya mau ujian disertasi S3 di Universiti Sains Malaysia, kondisinya sudah tak seperti biasanya. Saya hanya bisa berbicara sembari menyaksikan Beliau terbaring saja. Sudah tidak ada lagi kepulan asap tembakau, segelas kopi panas dan canda tawa lepas di sela obrolan yang tercipta kala itu.
Dan berita pagi ini, 25 September 2025, mengonfirmasi bahwa jatah hidup Gurunda saya tercinta ini telah selesai. Beliau berangkat dengan tenang di RS Lavalete Malang setelah terkena serangan stroke kali keempat. Sudah tak ada lagi tempat saya mendiskusikan ragam ilmu yang sangat kaya dalam suasana gayeng dan hangat.
Sugeng tindak, Gurunda & Ayahanda. Terima kasih atas semua ilmu dan pengalaman yang terbagi. Saya berutang rasa banyak pada Panjenengan. Swargi langgeng insya Allah. Allahummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa'fuanhu 🤲🏿
*Pembelajar di Depertemen Akuntansi, Universitas Trunojoyo Madura
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI