Mohon tunggu...
Achmad Tijani
Achmad Tijani Mohon Tunggu... -

Sang Pejantan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Euforia Kelahiran Nabi dan Kemenangan Timnas

15 Desember 2016   14:45 Diperbarui: 15 Desember 2016   14:51 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lantunan syahdu shalawat masih menggema dari setiap sudut kampung. Riuh perayaan maulid di negeri ini sudah menjadi bagian dari tradisi. Jadi sangat tidak tepat jika masih ada beberapa kelompok yang masih belum bisa beranjak dari persoalan dalil boleh atau tidak bolehnya perayaan maulid tersebut. Perasaan bahagia, cinta dan temu kangen sesama saudara muslim dalam kemasan perayaan maulid jauh lebih menyejukkan daripada sekadar persetegangan antar interpretasi. Selebihnya, ujaran tausiyah jajaran da’i, ustadz dan kiyai pada setiap penghujung acara maulid semakin menambah bobot manfaat dari perayaan maulid.

Belum usai euforia perayaan kelahiran Sang Nabi sudah muncul euforia lainnya yang bersumber dari lapangan hijau. Kemenangan Tim Nasional Sepak Bola Indonesia atas Thailand pada leg pertama Final Piala AFF di stadion Cibinong Bogor memang pantas dibanggakan. Boas dan kawan-kawan telah berhasil menjawab permainan aktraktif Thailand yang selalu menekan sejak menit pertama. Permainan kolektif dan kekuatan mental individu Tim Nasional cukup untuk membalikkan keadaan setelah sempat tertinggal 1-0 pada babak pertama. Namun kemudian permainan dapat ditutup dengan klimaks yang menggetarkan melalui dua gol dari Rizky Pora di menit 65 dan Hansamu di menit 70. Harapannya, klimaks berikutnya dapat juga terjadi pada leg kedua di Thailand. Semoga.

Euforia demi euforia pada bulan ini datang silih berganti bagi negeri yang tercinta ini. Lantunan shalawat pada setiap perayaan maulid dan ekspresi rasa nasionalisme dalam teriakan kata motivasi “Indonesia-indonesia” dari tribun penonton untuk timnas kesayangan yang sedang berlaga cukup untuk menandakan bahwa kita semua cinta Indonesia. Pada saat yang sama garis tepi pemisah pada setiap kotak kelompok, agama, ras, suku dan budaya melebur pada satu cita dan cinta untuk Indonesia.

Semangat relegius dan kebangsaan semestinya menjadi dua entitas yang akur. Perjumpaan keduanya pada dasarnya memang tidak terdapat pertentangan, apalagi jika yang dimaksud dengan makna relegius tersebut adalah representasi dari Islam. Deklarasi Islam sebagai agamaRahmatan Lil’alamin dalam makna kosmopolitnya tentu juga semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi kesantunan dan kebhinnekaan. Sebagai bentuk nyata dari perjumpaan yang teduh antara dua entitas tersebut tercermin dari segala daya pikir, ujaran dan prilaku dalam kehidupan sehari-hari dalam romantisme saling mencintai antar sesama elemen bangsa. Sebaliknya, segala upaya destruktif yang bermotif kebencian dapat dimaknai sebagai upaya disintegrasi nilai-nilai relegius dan kebangsaan.

Menganalisa cinta dan benci secara komprehensif dalam bingkai relasi nilai relegius dan kebangsaan pada tubuh individu ataupun kelompok memang tidak mudah. Menganalisa cinta dan benci secara filosofis seumpama memisahkan antara yang nyata dan yang tampak. Cinta itu ada pada yang nyata dengan dua kemungkinan, yaitu sebagai yang nyata sekaligus yang nampak dan sebagai yang nyata dan yang tidak tampak. Sementara benci selalu berada pada yang tidak nyata, oleh karena jalannya adalah kemuslihatan dan kebohongan, maka benci tidak pernah menjadi entitas dan hakikat yang nyata.

Sebagai analogi yang lebih sederhana, Tuhan sebagai simbol dari cinta sedangkan setan adalah simbol dari benci. Tuhan dalam realitas selalu meliputi segala sesuatu sedangkan setan selalu menjadi yang nampak pada setiap sesuatu. Maka jika perhatian kita hanya sebatas pada yang nampak biasanya tidak akan menemukan yang nyata. Bahwa benci kadang berbalut cinta atau di dalam cinta terselubung benci merupakan dua kemungkinan yang bisa saja terjadi. Segala simbol, yang tertampak, terekspos, terberitakan berada dalam kategori yang tampak dengan dua kemungkinan yaitu sekadar yang nampak tanpa kenyataan atau memang kenyataan yang ditampakkan.


Berkaitan dengan persoalan cinta dan benci di atas, umat Islam akhir-akhir ini dihadapkan pada problem ujaran Ahok mengenai al-Maidah ayat 51 yang dinilai telah menistakan Islam. Sebagai konsekuensinya digelarlah aksi berjilid bela Islam yang puncaknya berada pada aksi 212 yang kemudian diklaim sebagai simbol bersatunya umat Islam. Gelaran aksi tersebut secara kuantitatif dapat diacungi jempol. Jutaan jamaah dapat berkumpul di Monas dan berhasil menyeret Ahok ke meja hijau.

Aksi bela Islam sebagai realitas yang nampak bisa jadi representasi rasa cinta namun keraguan kemungkinan adanya kebencian yang terselubung juga tidak dapat diabaikan. Dua kemungkinan tersebut tentu harus diletakkan sebagai upaya reflektif yang jernih untuk sampai pada unsur kenyataan dibalik yang tempak tersebut. Jadi, upaya ini tidak dapat dimaknai secara serta merta sebagai sikap mendua (munafik) jika keraguan tersebut muncul dari seorang muslim.

Untuk mengurai kenyataan dibalik yang nampak maka perhatian kita harus melibatkan realitas lainnya seperti pada konteks pra dan pasca aksi bela Islam itu sendiri. Untuk konteks pra sudah diulas banyak oleh sejumlah ahli yang kemudian bersimpul pada adanya unsur penistaan yang telah dilakukan oleh Ahok. Namun untuk konteks pasca bela Islam bisa dibilang masih minim dan dapat dibilang kurang diminati.

Sebagai awal dari konteks pasca bela Islam, tepatnya setelah aksi Parade Kebhinnekaan digelar, sebagian umat Islam mendadak berjamaah menjadi individu-individu yang sangat matematis. Umat riuh dengan persoalan jumlah peserta aksi 212 yang diklaim paling heboh serta mengungguli jumlah peserta aksi 412 dan aksi manapun di negeri ini. Rasa jumawa tersebut berbuntut egois ketika diberitakan oleh media jumlah peserta 412 tidak kalah heboh dibandingkan 212. Sebagai upaya pembenaran, beredarlah hitungan matematis yang beredar bebas di media sosial.

Keriuahan tersebut tidak berhenti sampai disitu saja, sesenggukan Ahok pada pernyataan eksepsinya ditafsirkan berlebihan, yaitu ditafsirkan sebagai tangisan sandiwara. Meriuhkan tangisan Ahok bukanlah ekspresi substansial tapi lebih dekat pada ekspresi emosional belaka. Keberanian Ahok maju ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan prilakunya seakan sepi apresiasi, bahkan yang mencuat adalah membuncahnya kebencian yang berlebihan pada dirinya, sehingga nangis dan tidak nangispun tetaplah Ahok sebagai individu yang hanya pantas dihinakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun