Mohon tunggu...
Abu Syauqi
Abu Syauqi Mohon Tunggu... -

Jurnalis Independent

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Haruskah Sarjana Komputasi Menjadi Seorang Programmer?

21 Juni 2012   14:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:41 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dawson dalam bukunya Project in Computing and Information System menyebutkan bahwa landscape komputasi itu terbagi menjadi tiga bagian, yakni teori (seperti matematika, logika, metode formal, kecerdasan buatan) praktik berbasis komputer (misalnya rekayasa perangkat lunak, manajemen proyek perangkat lunak anasis dan perancangan), dan aplikasi (berkaitan dengan penggunaan, pengaruh, dampak Teknologi Informasi bagi organisasi dan masyarakat). Jika otodidak dan kursusan lebih berfokus pada bagian praktik, pendidikan Sarjana meraup semuanya. Hasilnya, semua sarjana mengenal Pemrograman Komputer tetapi tidak semuanya harus berakhir dengan project "pemrograman" atau lulus sebagai Programmer.

Nah bicara soal project komputasi (yang di Indonesia pada level strata satu disebut sebagai Tugas Akhir), kategorinya beragam, mulai dari berbasis riset, pengembangan, evaluasi, berbasis industri, dan pemecahan masalah. Dalam kategori pengembangan misalnya, pilihan mahasiswa adalah bisa mengembangkan software, hardware, model proses, metode, algoritma, teori, atau rancangan perangkat lunak. Terkadang pemrograman menjadi titik tekan project, seperti dalam bidang Rekayasa Perangkat Lunak, dan dalam bidang lainnya pemrograman menjadi pelengkap untuk mendemosnstrasikan ide, teknik, algoritma, atau untuk mengevaluasi interaksi manusia dan komputer.

Dawson mengatakan, bahwa sekalipun kita kuliah komputasi, tetapi dalam kasus tertentu kita tidak perlu dapat menulis sebuah program komputer. Jika dikembalikan kepada landscape komputasi, maka tidak semua bidang memerlukan keahlian menulis program komputer. Artinya, jika mahasiswa mengambil bidang tertentu dalam landscape tersebut, misalnya dampak Teknologi Informasi yang merupakan aspek sosial, maka dia tidak perlu lulus sebagai seorang Programmer, sekalipun dia harus pernah mengenal bagaimana cara menuliskan kode program.

Berkaitan dengan pendapat sebagian orang bahwa otodidak saja cukup untuk menjadi Programmer dan tidak perlu kuliah Komputasi, maka yang perlu diluruskan di sini adalah bahwa menjadi Programmer dalam Kuliah Komputasi adalah pilihan. Orang yang memilih lebih fokus pada aspek sosial tidak perlu menjadi seorang Programmer. Lain dengan mereka yang khususnya mengambil bidang praktik dalam landscape komputasi seperti Rekayasa Perangkat Lunak, tentu saja wajib memiliki keahlian pemrograman. Tanpa keahlian dan pengalaman pemrograman tersebut, project mereka akan mendapat hambatan besar. Untuk memenuhi kebutuhan mahasiswanya akan keahlian pemrograman komputer, pastinya Perguruan Tinggi (PT) tidak akan menurunkan level pendidikan Sarjana menjadi sekelas Diploma, Kursus, atau otodidak. Cara yang umum dilakukan PT untuk memenuhi harapan tersebut adalah dengan menyelenggarakan kegiatan tambahan seperti praktikum, ekstra kurikuler, dan program sertifikasi profesional. Namun semua sarana edukasi tersebut tidak akan berdampak apa-apa bagi mahasiswa jika pola fikir mahasiswa hanya sekedar dapat nilai dan lulus. Secara umum keberhasilan Sarjana memenuhi harapan penggunanya bergantung kepada usaha Sarjana itu sendiri. Kegagalan Sarjana diserap penggunanya adalah bukan kesalahan PT yang sudah jelas mengarahkan Sarjana harus ke mana, tetapi pada usaha Sarjana sewaktu mereka kuliah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun