“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya. Namun diri yang dimaksud bukan sekadar jasad, melainkan lapisan demi lapisan ruh yang tersembunyi, dari yang paling terang hingga yang paling rahasia.”
Pernahkah kita berhenti sejenak, menarik napas dalam, lalu bertanya pada diri sendiri: siapakah aku sebenarnya? Apakah aku hanya tubuh yang dapat disentuh, daging dan darah yang terlihat oleh mata? Ataukah aku lebih dari sekadar itu sebuah medan energi yang melintasi batas ruang, waktu, dan logika?
Pertanyaan ini bukanlah hal baru. Para sufi telah mengajukannya berabad-abad lalu, filsuf menelisiknya dengan akal, dan para ilmuwan modern pun mulai menguraikannya dengan bahasa kuantum. Membaca karya Linda O’Riordan dalam The Art of Sufi Healing membawa saya kembali pada renungan tersebut. Buku ini tidak berbicara tentang terapi mahal, atau ritual melelahkan yang penuh simbol, melainkan tentang sesuatu yang jauh lebih dekat: kesadaran cinta, zikir yang sederhana, napas yang sadar, dan potensi alami yang sesungguhnya selalu ada di dalam diri.
Apa yang ia paparkan tentang tubuh bukan hanya tubuh fisik, melainkan empat sistem yang saling menembus: fisik, emosional, mental, dan spiritual. Tubuh fisik yang kasat mata. Tubuh emosional yang kerap bergejolak dengan rasa. Tubuh mental yang sibuk menimbang sebab-akibat, membangun keyakinan dan pola pikir. Hingga tubuh spiritual yang memantulkan cahaya, api, dan keterhubungan dengan Sang Sumber. Membaca bagian ini membuat saya tertegun, betapa sering manusia modern hanya sibuk merawat satu lapisan saja yakni fisik sementara tubuh emosional, mental, bahkan spiritual, dibiarkan kelaparan.
Di titik ini saya teringat pada Book of Wisdom karya Harry B. Joseph. Ia menjabarkan tentang “planes of existence” lapisan realitas yang bertingkat dari fisik, eterik, astral, hingga mental. Bukan dunia yang terpisah, melainkan dimensi yang saling menembus, seperti spektrum cahaya. Lapisan bawah lebih padat, kasar, dan penuh gravitasi materi. Lapisan lebih tinggi menjadi semakin cair, halus, dan tak terikat. Sederhananya: kita bukan hanya makhluk dunia padat, kita adalah frekuensi. Kita adalah harmoni dari berbagai dimensi yang bergema di satu tubuh.
Dan seolah alam semesta menyusun kepingan puzzle, saya kembali menemukan gema yang sama dalam khazanah klasik Sirrul Asrar karya Syekh Abdul Qodir al-Jaelani. Beliau tidak menggunakan istilah fisik, astral, atau mental, tetapi ruh. Empat ruh utama yang membentuk jantung eksistensi manusia. Ruh Rawanī jiwa halus yang menghidupkan. Ruh Sulthānī sang pengendali, ibarat raja dalam kerajaan batin. Ruh Qudsī napas suci yang terhubung langsung dengan cahaya ilahi. Ruh Sirrī rahasia terdalam, inti misteri yang tak bisa dijangkau nalar.
Di sinilah saya merasakan getar yang sama: tiga sumber berbeda, dari buku modern tentang penyembuhan Sufi, dari teks filsafat esoterik, dan dari warisan tasawuf klasik semuanya menunjuk pada satu hal. Manusia bukan sekadar tubuh. Kita adalah lapisan demi lapisan kesadaran. Kita adalah tangga yang menghubungkan bumi dan langit. Kita adalah medan energi yang bisa rapuh jika satu sisi dibiarkan, tapi bisa menyala utuh jika seluruh lapisan dirawat dengan cinta.
Coba kita renungkan kehidupan sehari-hari. Berapa banyak dari kita yang mengeluh sakit kepala, migrain, atau nyeri tubuh, padahal akar persoalannya bukan fisik, melainkan beban emosional yang menekan bertahun-tahun? Berapa banyak yang bergulat dengan rasa cemas, depresi, dan hampa, sementara tubuh fisiknya sehat? Atau berapa banyak yang merasa tersesat walau secara logika ia cerdas karena tubuh spiritualnya kering dari doa, hampa dari cahaya, jauh dari zikir? Inilah realitas zaman modern: kita menjadi ahli merawat kulit luar, tapi buta terhadap keseimbangan batin.
Padahal para sufi sudah lama menegaskan, manusia itu ibarat kosmos mini. Microcosmos yang mencerminkan macrocosmos. Tubuh kita seperti planet dengan orbitnya. Nafas kita bagaikan pasang surut laut. Emosi kita seperti cuaca: kadang badai, kadang teduh. Dan ruh kita adalah matahari sumber cahaya yang memberi makna bagi seluruh lapisan. Jika matahari ini redup, seluruh sistem kehidupan dalam diri pun kacau.
Lalu bagaimana kita merawat seluruh lapisan itu? Linda O’Riordan menawarkan jalan sederhana: meditasi, napas sadar, doa, zikir, dan visualisasi. Harry B. Joseph mengajak kita memahami bahwa setiap lapisan realitas itu nyata, dan kita bisa berpindah di antaranya lewat kesadaran. Syekh Abdul Qodir al-Jaelani menuntun kita mengenali rahasia ruh, dari yang halus hingga yang tersembunyi, sebagai jalan untuk semakin dekat kepada Allah.
Ketiganya bukan jalur yang bertabrakan, melainkan saling melengkapi. Ilmu modern bisa memberi bahasa baru untuk menjelaskan energi dan vibrasi. Teks esoterik memberi peta metafisik agar kita tidak tersesat. Tasawuf memberi hati dan ruh agar perjalanan ini tidak kehilangan arah. Dan di antara semuanya, ada satu benang merah: cinta. Karena tanpa cinta, segala teknik meditasi hanyalah relaksasi kosong. Tanpa cinta, segala ritual hanyalah rutinitas. Tanpa cinta, tubuh hanyalah daging yang berjalan tanpa jiwa.
Di sinilah saya mulai melihat makna lain dari kesehatan. Sehat sejati bukan hanya tidak sakit. Sehat adalah keterpaduan. Tubuh fisik kuat, emosi stabil, pikiran jernih, ruh bercahaya. Sehat adalah harmoni yang mengalir dari dalam keluar. Ia bukan sekadar kondisi, tapi getaran. Ia bukan sekadar hasil, tapi perjalanan.
Dan mungkin inilah yang dimaksud oleh para ‘arifin ketika mereka berkata: mengenal diri adalah mengenal Tuhan. Karena setiap lapisan diri adalah cermin. Fisik mencerminkan bumi. Emosi mencerminkan langit yang dinamis. Mental mencerminkan hukum sebab-akibat. Ruh mencerminkan cahaya Sang Pencipta. Semakin dalam kita masuk ke lapisan itu, semakin jelas kita melihat Dia yang menjadi asal-usul sekaligus tujuan akhir.
Sobat, dunia modern menawarkan banyak metode penyembuhan. Ada yang berbasis teknologi, ada yang berbasis obat kimia, ada pula yang memadukan keduanya. Tetapi kadang kita lupa bahwa penyembuh terbesar selalu berada di dalam: kesadaran, doa, napas, dan cinta. Tubuh kita tidak diciptakan rapuh, ia memiliki potensi untuk bangkit. Jiwa kita tidak diciptakan kosong, ia memiliki daya untuk terhubung. Ruh kita tidak diciptakan terputus, ia selalu punya jalan pulang.
Mungkin saatnya kita berhenti mencari ke luar, dan mulai kembali ke dalam. Karena di sanalah letak seni penyembuhan sejati: bukan sekadar mengobati yang tampak sakit, tapi mengharmoniskan seluruh lapisan diri agar kembali menyala utuh.
Dan ketika itu terjadi, kita tidak hanya menjadi sehat. Kita menjadi utuh. Kita menjadi terang. Kita menjadi manusia yang kembali pulang kepada dirinya sendiri dan pada akhirnya, kepada Sang Sumber.
Kalau tulisan ini menggugahmu, jangan biarkan ia berhenti di sini. Mulailah perjalanan kecil hari ini: tarik napas dengan sadar, sebut satu kalimat doa dengan penuh cinta, dan rasakan tubuhmu kembali hidup. Dan bila engkau ingin melangkah lebih jauh menapaki jejak ruh dan kesadaran, mari kita jelajahi bersama dalam ruang belajar filsafat spiritual yang penuh cahaya.
Karena setiap langkah kembali ke dalam, sejatinya adalah langkah kembali kepada-Nya.
📚 Referensi Inspirasi Bacaan:
The Art of Sufi Healing – Linda O’Riordan, R.N.
Book of Wisdom – Harry B. Joseph
Sirrul Asrar – Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI