Mohon tunggu...
Abu Fadhel Hardy
Abu Fadhel Hardy Mohon Tunggu... Life Coach Energy Healing Practitioner

Coach Transformasi Jiwa yang memadukan kesadaran reflektif, psikologi analisis, dan NLP Quantum–CEV Path untuk membantu profesional menemukan keseimbangan makna dan arah hidup..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jejak Ruh dalam Lapisan Kehidupan: Dari Sirrul Asrar hingga Quantum Mind

18 September 2025   12:10 Diperbarui: 22 September 2025   13:31 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input Keterangan & Sumber Gambar (Subtil Body) (Sumber: Ai Image))

“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya. Namun diri yang dimaksud bukan sekadar jasad, melainkan lapisan demi lapisan ruh yang tersembunyi, dari yang paling terang hingga yang paling rahasia.”

Pernahkah kita berhenti sejenak, menarik napas dalam, lalu bertanya pada diri sendiri: siapakah aku sebenarnya? Apakah aku hanya tubuh yang dapat disentuh, daging dan darah yang terlihat oleh mata? Ataukah aku lebih dari sekadar itu sebuah medan energi yang melintasi batas ruang, waktu, dan logika?

Pertanyaan ini bukanlah hal baru. Para sufi telah mengajukannya berabad-abad lalu, filsuf menelisiknya dengan akal, dan para ilmuwan modern pun mulai menguraikannya dengan bahasa kuantum. Membaca karya Linda O’Riordan dalam The Art of Sufi Healing membawa saya kembali pada renungan tersebut. Buku ini tidak berbicara tentang terapi mahal, atau ritual melelahkan yang penuh simbol, melainkan tentang sesuatu yang jauh lebih dekat: kesadaran cinta, zikir yang sederhana, napas yang sadar, dan potensi alami yang sesungguhnya selalu ada di dalam diri.

Apa yang ia paparkan tentang tubuh bukan hanya tubuh fisik, melainkan empat sistem yang saling menembus: fisik, emosional, mental, dan spiritual. Tubuh fisik yang kasat mata. Tubuh emosional yang kerap bergejolak dengan rasa. Tubuh mental yang sibuk menimbang sebab-akibat, membangun keyakinan dan pola pikir. Hingga tubuh spiritual yang memantulkan cahaya, api, dan keterhubungan dengan Sang Sumber. Membaca bagian ini membuat saya tertegun, betapa sering manusia modern hanya sibuk merawat satu lapisan saja yakni fisik sementara tubuh emosional, mental, bahkan spiritual, dibiarkan kelaparan.

Di titik ini saya teringat pada Book of Wisdom karya Harry B. Joseph. Ia menjabarkan tentang “planes of existence” lapisan realitas yang bertingkat dari fisik, eterik, astral, hingga mental. Bukan dunia yang terpisah, melainkan dimensi yang saling menembus, seperti spektrum cahaya. Lapisan bawah lebih padat, kasar, dan penuh gravitasi materi. Lapisan lebih tinggi menjadi semakin cair, halus, dan tak terikat. Sederhananya: kita bukan hanya makhluk dunia padat, kita adalah frekuensi. Kita adalah harmoni dari berbagai dimensi yang bergema di satu tubuh.

Dan seolah alam semesta menyusun kepingan puzzle, saya kembali menemukan gema yang sama dalam khazanah klasik Sirrul Asrar karya Syekh Abdul Qodir al-Jaelani. Beliau tidak menggunakan istilah fisik, astral, atau mental, tetapi ruh. Empat ruh utama yang membentuk jantung eksistensi manusia. Ruh Rawanī jiwa halus yang menghidupkan. Ruh Sulthānī sang pengendali, ibarat raja dalam kerajaan batin. Ruh Qudsī napas suci yang terhubung langsung dengan cahaya ilahi. Ruh Sirrī rahasia terdalam, inti misteri yang tak bisa dijangkau nalar.

Di sinilah saya merasakan getar yang sama: tiga sumber berbeda, dari buku modern tentang penyembuhan Sufi, dari teks filsafat esoterik, dan dari warisan tasawuf klasik semuanya menunjuk pada satu hal. Manusia bukan sekadar tubuh. Kita adalah lapisan demi lapisan kesadaran. Kita adalah tangga yang menghubungkan bumi dan langit. Kita adalah medan energi yang bisa rapuh jika satu sisi dibiarkan, tapi bisa menyala utuh jika seluruh lapisan dirawat dengan cinta.

Coba kita renungkan kehidupan sehari-hari. Berapa banyak dari kita yang mengeluh sakit kepala, migrain, atau nyeri tubuh, padahal akar persoalannya bukan fisik, melainkan beban emosional yang menekan bertahun-tahun? Berapa banyak yang bergulat dengan rasa cemas, depresi, dan hampa, sementara tubuh fisiknya sehat? Atau berapa banyak yang merasa tersesat walau secara logika ia cerdas karena tubuh spiritualnya kering dari doa, hampa dari cahaya, jauh dari zikir? Inilah realitas zaman modern: kita menjadi ahli merawat kulit luar, tapi buta terhadap keseimbangan batin.

Padahal para sufi sudah lama menegaskan, manusia itu ibarat kosmos mini. Microcosmos yang mencerminkan macrocosmos. Tubuh kita seperti planet dengan orbitnya. Nafas kita bagaikan pasang surut laut. Emosi kita seperti cuaca: kadang badai, kadang teduh. Dan ruh kita adalah matahari sumber cahaya yang memberi makna bagi seluruh lapisan. Jika matahari ini redup, seluruh sistem kehidupan dalam diri pun kacau.

Lalu bagaimana kita merawat seluruh lapisan itu? Linda O’Riordan menawarkan jalan sederhana: meditasi, napas sadar, doa, zikir, dan visualisasi. Harry B. Joseph mengajak kita memahami bahwa setiap lapisan realitas itu nyata, dan kita bisa berpindah di antaranya lewat kesadaran. Syekh Abdul Qodir al-Jaelani menuntun kita mengenali rahasia ruh, dari yang halus hingga yang tersembunyi, sebagai jalan untuk semakin dekat kepada Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun