Mohon tunggu...
Apoteker Ilham Hidayat
Apoteker Ilham Hidayat Mohon Tunggu... Apoteker/Founder Komunitas AI Farmasi - PharmaGrantha.AI/Rindukelana Senja

AI Enhanced Pharmacist

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dari Resep ke Rasionalitas : Benarkah Apoteker terlibat di Garis Depan Melawan Resistansi Antimikroba ?

13 Oktober 2025   21:40 Diperbarui: 14 Oktober 2025   12:25 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Womens-hands pours medicine pills out bottle ( freepik/free )

Antibiotik adalah paradoks zaman modern. Ia pernah menjadi lambang kemenangan manusia atas infeksi, namun kini menjadi cermin kegagalan sistem kesehatan global dalam menjaga rasionalitas terapi. Menurut laporan WHO GLASS 2025, hampir satu dari enam infeksi bakteri di dunia kini resisten terhadap antibiotik, dengan angka yang melonjak hingga satu dari tiga kasus di Asia Tenggara. Resistansi tertinggi ditemukan pada bakteri Gram-negatif seperti E. coli dan Klebsiella pneumoniae, yang kini kebal terhadap antibiotik generasi ketiga, bahkan karbapenem---senjata terakhir pengobatan modern.

Ketika Resep Tak Lagi Menjamin Rasionalitas

Sistem berbasis resep dokter sering diasumsikan sebagai penjaga rasionalitas. Namun, data WHO justru menampar asumsi itu. Hingga 50% resep antibiotik di pelayanan primer global masih diberikan tanpa indikasi yang sesuai (WHO, Report on Surveillance of Antibiotic Consumption, 2018). Resep menjadi ritual administratif, bukan mekanisme kontrol ilmiah. Bahkan di negara maju, fenomena defensive prescribing---meresepkan antibiotik hanya untuk menghindari risiko tuduhan malpraktik---masih terjadi.

Indonesia pun tidak lepas dari paradoks ini. Di satu sisi, antibiotik dikontrol melalui regulasi ketat berbasis resep. Namun di sisi lain, data lapangan menunjukkan pembelian bebas tetap marak. Akibatnya, resistansi meningkat di dua front: overprescribing oleh dokter dan self-medicating oleh masyarakat.

Deprescribing: Senjata Baru dalam Stewardship Global

Dalam Global Action Plan on AMR yang diadopsi WHO pada 2015, salah satu dari lima strategi utamanya adalah mengoptimalkan penggunaan obat antimikroba di sektor kesehatan manusia . Pembaruan rencana global 2024--2030 yang sedang disusun oleh Quadripartite (WHO, FAO, WOAH, UNEP) memperkuat hal ini dengan menekankan accountable governance dan One Health coordination. Dalam kerangka baru ini, WHO menekankan pentingnya optimalisasi penggunaan antimikroba melalui tata kelola lintas sektor dan penguatan tenaga kesehatan. Dalam konteks ini, peran apoteker menjadi strategis dalam praktik deprescribing---meninjau dan menghentikan penggunaan antibiotik yang tidak lagi diperlukan---sebagai bagian dari implementasi antimicrobial stewardship global.

Negara seperti Kanada, Inggris, dan Australia sudah lebih dulu memberi wewenang deprescribing kepada apoteker melalui skema collaborative prescribing. Hasilnya signifikan: intervensi apoteker di Australia menurunkan penggunaan antibiotik tidak rasional tanpa meningkatkan komplikasi infeksi. Model ini sejalan dengan panduan WHO terbaru tentang pharmacist-led antimicrobial stewardship, yang menempatkan apoteker sebagai pengontrol rasionalitas terapi di setiap lini sistem kesehatan.

Laporan GLASS 2025: Data yang Menampar Nurani

Laporan Global Antibiotic Resistance Surveillance Report 2025 mengonfirmasi bahwa resistansi antibiotik adalah epidemi senyap yang kian mengakar. Dari 23 juta infeksi bakteri yang dianalisis oleh WHO, ditemukan bahwa resistansi terhadap sefalosporin generasi ketiga mencapai 44,8% pada E. coli dan 55,2% pada Klebsiella pneumoniae. Bahkan resistansi terhadap karbapenem, antibiotik cadangan terakhir, kini mencapai 54,3% pada Acinetobacter spp. dan 41,2% pada Klebsiella pneumoniae di Asia Tenggara.

Kondisi ini lebih buruk di negara berpendapatan menengah ke bawah, termasuk Indonesia, di mana sistem pengawasan dan laboratorium mikrobiologi masih lemah. WHO mencatat bahwa hanya 46,2% negara yang memiliki komponen pengawasan AMR lengkap, dan Indonesia termasuk di antara negara dengan infrastruktur laboratorium yang belum merata.

Menggeser Paradigma: Dari Resep ke Rasionalitas

Resep seharusnya bukan simbol kekuasaan profesi, melainkan titik awal dialog antarprofesi. Di sinilah peran apoteker menjadi krusial: sebagai independent safety checkpoint yang berani meninjau ulang terapi berdasarkan bukti. Dalam konteks AMR, deprescribing bukan bentuk perlawanan terhadap dokter, melainkan wujud kolaborasi berbasis sains.

WHO melalui Roadmap GAP-AMR 2025 menyoroti pentingnya tata kelola AMR lintas sektor yang akuntabel serta mekanisme pembiayaan dan pengembangan tenaga kerja kesehatan. Dalam konteks ini, keterlibatan apoteker menjadi bagian strategis dari penguatan kapasitas dan implementasi kebijakan AMR yang efektif.

Indonesia: Dari Pengendali Obat ke Pengendali Rasionalitas

Indonesia perlu berani melangkah dari paradigma restricted access menuju stewardship-based governance. Artinya, bukan hanya membatasi, tapi mengelola dengan cerdas. Apoteker harus diberi ruang legal dan sistem digital untuk melakukan peninjauan antibiotik berbasis data, baik di apotek, rumah sakit, maupun telepharmacy.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun