Mohon tunggu...
Apoteker Ilham Hidayat
Apoteker Ilham Hidayat Mohon Tunggu... Apoteker/Founder Komunitas AI Farmasi - PharmaGrantha.AI/Rindukelana Senja

AI Enhanced Pharmacist

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Series Apoteker di Era AI - Bagian 3: Realitas Apoteker Indonesia, Masih di Zona Logistik

24 September 2025   18:21 Diperbarui: 24 September 2025   18:21 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Series Apoteker di Era AI - Bagian 3 :  Realitas Apoteker Indonesia, Masih di Zona Logistik

Di balik gemerlap teknologi kesehatan global, realitas apoteker Indonesia masih terasa kontras. Sebagian besar tenaga farmasi di negeri ini masih berkutat pada urusan logistik: stok obat, pencatatan, laporan bulanan, distribusi antar fasilitas, hingga urusan perizinan yang berlapis. Rutinitas ini menyita energi besar, menghabiskan waktu kerja yang seharusnya bisa digunakan untuk layanan klinis atau edukasi pasien. Kondisi ini menggambarkan jurang yang makin lebar antara tren global yang sudah mengadopsi AI dan digitalisasi dengan kenyataan sehari-hari di apotek dan rumah sakit Indonesia.

Bayangkan seorang apoteker di Puskesmas atau rumah sakit daerah. Sebagian besar jam kerjanya habis untuk mengecek stok, mengisi sistem manual, dan mengurus dokumen pengadaan obat. Padahal, di negara maju, pekerjaan ini sudah banyak dibantu sistem digital dan otomatisasi. Di Indonesia, sering kali apoteker justru menjadi "penjaga gudang" alih-alih konsultan terapi. Akibatnya, layanan asuhan pasien tidak optimal dan apoteker kesulitan menunjukkan nilai tambahnya dalam sistem kesehatan.

Mindset konservatif juga ikut memperkuat pola ini. Banyak apoteker merasa tugas logistik adalah identitas profesi. "Kalau bukan kita, siapa lagi?" begitu pikirnya. Akhirnya, kita nyaman dengan peran administratif tanpa menyadari dunia sudah bergerak maju. Padahal, semakin lama kita bertahan di zona logistik, semakin sulit keluar dari stigma "apoteker cuma urus obat". Ini berisiko meminggirkan profesi ketika teknologi baru masuk.

Selain itu, belum meratanya infrastruktur digital juga memperparah masalah. Banyak apotek, terutama di daerah, belum memiliki sistem informasi manajemen yang memadai. Rekam medis elektronik belum terintegrasi, akses internet terbatas, dan pelatihan digital minim. Akibatnya, bahkan kalau ada teknologi baru, penerapannya tersendat. Inilah yang membuat kita "kok beda jauh ya sama tren global?"

Bukan hanya infrastruktur, regulasi juga ikut menahan laju inovasi. Aturan yang belum jelas tentang telepharmacy, pemanfaatan AI untuk screening resep, atau penggunaan data pasien membuat banyak apoteker ragu mencoba teknologi baru. Tanpa payung hukum, risiko dianggap melanggar aturan terasa lebih besar daripada peluangnya. Mindset "takut salah" makin menguatkan budaya profesi yang konservatif.

Semua faktor ini---logistik dominan, mindset konservatif, infrastruktur digital minim, regulasi tertinggal---menciptakan lingkaran stagnasi. Padahal, di saat bersamaan, dunia farmasi global sedang masuk ke era layanan klinis berbasis data dan personalisasi terapi. Jurang ini jika dibiarkan akan membuat profesi apoteker Indonesia makin sulit bersaing di level regional maupun global.

Namun, realitas ini juga bisa menjadi titik balik. Kesadaran tentang kesenjangan adalah langkah pertama menuju perubahan. Dengan melihat betapa jauhnya kita tertinggal, apoteker bisa mulai menuntut transformasi sistem pendidikan, regulasi, dan fasilitas kerja. Ini bukan sekadar soal "ikut tren" tapi menyelamatkan inti profesi agar tetap relevan. Jika kita berani merebut momen ini, zona logistik bisa jadi batu loncatan menuju era pelayanan klinis berbasis AI yang lebih bermakna bagi masyarakat.

Bagian ini bukan untuk mengecilkan profesi, melainkan untuk memantik refleksi: sudah saatnya apoteker Indonesia menggeser pandangan dari sekadar penjaga stok ke pelaku utama layanan kesehatan. Perubahan mental ini yang akan membuka jalan menuju lompatan besar berikutnya.

Sudah saatnya apoteker Indonesia menggeser pandangan dari sekadar penjaga stok ke pelaku utama layanan kesehatan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun