Mohon tunggu...
Apoteker Ilham Hidayat
Apoteker Ilham Hidayat Mohon Tunggu... Apoteker/Founder Komunitas AI Farmasi - PharmaGrantha.AI/Rindukelana Senja

AI Enhanced Pharmacist

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menyemai Asa di Ujung Desa : Saatnya Apotek Independen Juga Dipermudah

19 Juli 2025   07:25 Diperbarui: 19 Juli 2025   07:34 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit gambar: Ilustrasi buatan AI menggunakan ChatGPT/DALL*E oleh Ilham Hidayat (dokumen pribadi)

Dalam beberapa tahun terakhir, geliat pembangunan layanan kesehatan di tingkat desa kembali menemukan momentumnya. Pemerintah melalui program Apotek Desa/Kelurahan Percontohan yang terintegrasi dalam skema Koperasi Merah Putih mencoba menghadirkan akses kefarmasian yang lebih dekat, lebih terjangkau, dan lebih memberdayakan. Tidak sekadar membangun fisik apotek, tetapi juga menyematkan semangat kemandirian kesehatan masyarakat dari bawah.

Apotek desa hadir bukan hanya sebagai tempat menebus resep, tetapi juga sebagai simpul distribusi obat esensial, titik awal promosi kesehatan, bahkan sentra edukasi bagi masyarakat desa. Dalam konsep ini, apotek tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari jejaring koperasi yang menyatu dengan sistem ekonomi desa---bersama unit usaha sembako, simpan pinjam, hingga klinik. Satu tubuh, satu semangat. Pemerintah mendukung penuh: dari alur perizinan yang disederhanakan, bantuan logistik obat, hingga kebijakan afirmatif dalam pengelolaan stok dan distribusi.

Kita patut mengapresiasi semangat ini. Negara memang selayaknya hadir di ruang-ruang pelayanan dasar, terutama di wilayah yang sebelumnya jauh dari jangkauan layanan kesehatan. Namun, dalam euforia afirmasi untuk apotek desa, ada baiknya kita sejenak menoleh pada mereka yang selama ini telah lebih dahulu mengisi kekosongan itu---apotek-apotek independen swasta yang dibangun dari tekad individu, berdiri sendiri tanpa subsidi, tapi turut berkontribusi besar dalam menjamin ketersediaan obat bagi masyarakat.

Di sisi lain dari narasi besar, ada apoteker bernama Dina (nama samaran), pemilik apotek mandiri di kota satelit Metropolitan. Sejak pandemi usai, ia mencoba memperluas cabangnya ke lokasi yang belum ada apotek sama sekali. Lokasi strategis telah ditemukan, izin lingkungan sudah diurus, dan sarana prasarana disiapkan. Namun tantangan sebenarnya baru dimulai: pengurusan SLF (Sertifikat Laik Fungsi) yang disyaratkan dalam sistem perizinan online (OSS) ternyata lebih rumit dari yang ia bayangkan.

Sudah enam bulan berlalu sejak permohonan diajukan. Karena bangunan yang digunakan adalah ruko sewa, maka untuk mengurus PBG (Persetujuan Bangunan Gedung), ia harus mengantongi dokumen pemilik bangunan---yang sayangnya masih dalam proses balik nama. Sementara tanpa PBG dan SLF, izin apotek pun tak bisa diterbitkan. Ia menghubungi Dinas Kesehatan, lalu diarahkan ke DPMPTSP (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu). Setiap minggu bolak-balik, namun hasilnya nihil.

Di tengah proses itu, stok antibiotik di apotek cabang lainnya mulai menipis. Stok utama ada di apotek pusat, yang hanya berjarak 6 km. Dengan niat baik dan demi layanan, Dina mengirimkan sebagian stok ke cabang. Namun siapa sangka, beberapa minggu kemudian datang surat dari pengawas dinas untuk mengklarifikasi aktivitas tersebut, distribusi antar apotek dinilai tidak sesuai, dan dikenakan tindakan korektif-preventif (CAPA). "Bukannya dibantu, kami justru disurati," keluhnya.

Cerita Dina bukan satu-satunya. Banyak apotek swasta, terutama yang dibangun oleh perorangan atau UMKM farmasi, mengalami hambatan serupa. Proses izin panjang, sistem OSS yang belum terintegrasi sepenuhnya antar lembaga, dan keharusan administratif yang rumit seperti SLF, PBG, hingga akta notaris untuk perjanjian kerja sama dengan apoteker---semuanya menjadi lapisan tantangan yang justru menyulitkan pertumbuhan layanan kefarmasian di akar rumput.

Kini mari bandingkan. Dalam Juknis Apotek Desa yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan, terdapat berbagai kemudahan luar biasa yang seharusnya menjadi inspirasi bagi kebijakan lain. Di antaranya:

  • Tanpa kewajiban PBG, SLF, atau KKPR, apotek desa cukup dengan surat pernyataan mandiri setara SPPL.
  • Tanpa akta notaris, cukup perjanjian kerja sama bermaterai antara koperasi dan apoteker.
  • Distribusi antar apotek diizinkan, bahkan dijadikan sistem inti-plasma.
  • Gudang bersama diperbolehkan, untuk mengefisienkan pengadaan dan menurunkan harga.
  • Izin bisa terbit maksimal 9 hari kerja, sejak dokumen dianggap lengkap.

Semua ini tentu dalam semangat afirmatif---dan itu hal yang baik. Tapi pertanyaannya: mungkinkah semangat yang sama bisa diperluas untuk apotek swasta yang juga punya fungsi sosial dan kontribusi nyata bagi kesehatan masyarakat?

Apotek desa adalah representasi negara hadir di tingkat lokal. Namun apotek swasta adalah bentuk kehadiran masyarakat dalam menyokong sistem kesehatan nasional. Jika negara bisa mengizinkan sistem distribusi lintas apotek untuk model koperasi, kenapa hal serupa tidak bisa difasilitasi bagi jejaring apotek independen yang saling berbagi stok di saat kritis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun