Di sebuah ruang praktik sederhana, seorang ibu membawa anaknya yang baru saja demam dua hari. Tanpa hasil lab, tanpa swab tenggorokan, dan tanpa tanda infeksi serius, sang dokter meresepkan antibiotik generasi ketiga. Resep itu ditebus, diminum, dan anak pun sembuh---atau paling tidak terlihat sembuh. Tapi di balik itu, satu langkah kecil menuju resistensi mungkin sudah dimulai.
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, kisah ini bukan pengecualian. Ia adalah kebiasaan. Kebiasaan yang tak lagi dipertanyakan.
AMR: Ancaman yang Tak Terlihat, Tapi Nyata
Antimicrobial Resistance (AMR) bukan lagi sekadar istilah WHO. Ia adalah ancaman global yang mengancam seluruh lapisan masyarakat. WHO bahkan menyebut AMR sebagai salah satu dari 10 ancaman kesehatan terbesar dunia.
Di Indonesia, menurut data awal dari GLASS periode 2017--2018, laporan mencatat bahwa tingkat resistensi Escherichia coli terhadap ciprofloxacin dari spesimen urin pasien rawat jalan mencapai 77%, sementara resistensi Klebsiella pneumoniae terhadap ceftriaxone dari spesimen darah berada di atas 50%. Meskipun data ini masih berasal dari lima laboratorium sentinel dan belum mencerminkan situasi nasional secara utuh, angka tersebut memberikan peringatan keras tentang tingginya resistensi antibiotik di Indonesia. Sementara itu, studi sistematis dan metaanalisis di PLOS Medicine Juni 2020 (yang mengkaji 48 studi di 27 negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMIC) antara 2010--April 2020) mencatat bahwa lebih dari 50% pasien di layanan primer menerima antibiotik, meski tanpa indikasi bakteri yang jelas.
Resep Antibiotik: Keputusan Klinis atau Sekadar Formalitas?
Pertanyaannya: mengapa begitu banyak antibiotik diresepkan secara tidak perlu?
Jawabannya kompleks, tapi bisa diringkas dalam satu kata: kebiasaan.
Banyak dokter, meskipun memiliki intensi positif untuk menyembuhkan pasien, justru terjebak dalam kebiasaan meresepkan antibiotik tanpa dasar klinis yang kuat. Studi oleh Leesa Lin et al. dalam BMJ Global Health (2020) menunjukkan bahwa di Tiongkok, penyebab utamanya adalah tekanan dari ekspektasi pasien, keterbatasan waktu konsultasi, ketidakpastian diagnosis, serta kurangnya akses terhadap alat diagnostik yang cepat. Sistem layanan kesehatan yang tidak memberi insentif pada praktik yang rasional memperkuat pola tersebut.
Fakta ini ternyata tidak jauh berbeda dengan situasi di Indonesia. Studi oleh Limato et al. dalam BMJ Open (2022), berdasarkan survei terhadap 1.007 dokter di enam rumah sakit Jakarta, menemukan bahwa meski mayoritas dokter menyadari antibiotik overused secara nasional, hanya sedikit yang mengakui hal tersebut terjadi di tempat kerja mereka sendiri. Alasan yang mendasari keputusan mereka sangat serupa: kekhawatiran terhadap kondisi pasien yang memburuk, tekanan sosial, dan keterbatasan diagnosis.
Kedua studi ini saling menguatkan, menegaskan bahwa overprescribing bukan hanya masalah klinis, melainkan masalah sistemik---terjadi di negara dengan sistem kesehatan yang belum optimal, budaya pasien yang menuntut penyembuhan instan, serta lingkungan kerja yang tidak memberi ruang untuk praktik berbasis bukti. Padahal, WHO telah lama menekankan bahwa mayoritas infeksi saluran napas atas disebabkan oleh virus, yang akan sembuh tanpa antibiotik sama sekali.
Ironisnya, pasien pun ikut membentuk pola ini. Mereka datang dengan harapan: "yang penting dikasih obat yang manjur." Dan dalam benak banyak orang, antibiotik = manjur.