Mohon tunggu...
Teddy Tedjakusuma
Teddy Tedjakusuma Mohon Tunggu... Insinyur - Dosen

PNS di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kunci Kebahagiaan

12 November 2020   10:39 Diperbarui: 12 November 2020   10:50 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Catatan perjalanan (11)

KUNCI KEBAHAGIAAN

Bismillah.

Siapa yang tidak ingin bahagia?  

Bahkan mungkin hal itulah yang paling dicari oleh manusia.  Kita belajar keras untuk meraih pendidikan tertinggi, bekerja keras siang malam demi meningkatkan taraf ekonomi keluarga, mengurus berbagai masalah di tempat kerja, keluarga, dan masyarakat, sebenarnya untuk apa?   Kalau kemudian dengan melakukan semua itu, kita tidak mendapatkan kebahagiaan, lantas buat apa kita lakukan semua itu?  Buat apa kita melakukan berbagai hal tersebut kalau itu tidak membuat kita bahagia?  Kalau semua hal itu membuat kita stress, atau bahkan terkena sakit karena kecapekan dan merasa terbebani berlebihan?

Apakah dengan mendapatkan rumah yang bagus, jabatan tinggi, kedudukan yang baik di masyarakat, atau bisa berjalan-jalan ke berbagai negara, itu dengan dengan sendirinya kita mendapatkan kebahagiaan?  Apakah kebahagiaan terletak pada hal-hal tersebut?  Betapa banyak kita mendapatkan berita orang kaya yang tersandung kasus korupsi dan akhirnya masuk bui, pejabat yang menyelewengkan uang negara sehingga bernasib sama, atau pengusaha kelas kakap yang harus jadi buron karena korupsi atau ngemplang hutang raksasa.  Apakah mereka bahagia?  Kalau kebahagiaan itu terletak pada hal-hal material seperti disebutkan di awal tulisan ini, lantas apa yang sebenarnya terjadi dengan orang-orang yang terkena kasus tersebut?  Apakah mungkin mereka merasa bahagia dengan berada dalam kondisi seperti itu?

Sebaliknya, kita juga mungkin pernah bertemu dengan orang-orang yang hidupnya sederhana, bukan orang penting di masyarakat, berprofesi yang kita anggap tidak bergengsi, tapi mereka terlihat bahagia dengan hidup mereka, tertawa dan tersenyum tulus, hidup seperti tanpa beban, jauh dari kemarahan maupun keluh kesah.  Apa yang menyebabkan mereka tampak bahagia padahal kondisinya secara kasat mata bukanlah orang yang terpandang?

Jadi di mana sebenarnya kebahagiaan itu?  Atau, apa kunci kebahagiaan itu?

Mari kita cari jawabnya dalam kitab suci, Al Quran (bukan pada rumput yang bergoyang....).

Allah Swt berfirman, yang artinya: : "Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram" (QS Ar-Ra'du: 28).  Hati yang tenang inilah kunci kebahagiaan.   Dan yang dapat membawa kita kepada ketenangan hati adalah ingat kepada Allah, dzikrullah. 

Allah memerintahkan kita untuk selalu ingat di mana pun dan kapan pun.  Di rumah, di sekolah atau kampus, di tempat kerja, saat sibuk, saat luang, saat berkumpul bersama handai tolan atau teman-teman, di rapat-rapat.  Saat senang saat senang, saat sehat saat sakit, saat gembira saat sedih.  Dzikir yang sederhana seperti tasbih, tahmid dan tahlil, atau membaca ayat-ayat Quran, baik yang sudah kita hafal seperti surat-surat pendek ataupun ayat-ayat lain yang sedang berusaha kita hafal.

Demikian juga interaksi kita dengan Al Quran.  Al Quran adalah kalam Ilahi, yang melaluinya Allah berkomunikasi dengan kita.  Membiasakan membaca Al Quran akan mengundang malaikat ke rumah kita sekaligus membawa ketenangan.  Juga tentu saja shalat wajib dan sunnah (rawatib, dluha, tahajjud, dll).  Shadaqah.  Shaum-shaum sunnah (Senin-Kamis, tengah bulan, Dzulhijjah, dll).  Menghadiri majelis-majelis taklim.   Semua itu adalah bagian dari dzikir.  Dzikir dalam arti yang lebih luas, bukan hanya mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah seperti di atas (tasbih dll), melainkan segala aktivitas yang mengingatkan kita kepada Allah.

Dengan hati yang tenang kita tidak mudah stress akibat tuntutan pekerjaan, tidak mudah sakit karena beban psikis yang berat dengan berbagai masalah, tidak mudah mengeluh karena kondisi ekonomi yang makin sulit.  Kalau kita merasa kekurangan, ingat bahwa masih banyak orang yang jauh lebih kekurangan dan kesulitan dibanding kita.  Lebih banyak bersyukur dengan apa yang Allah berikan dan tidak mengeluh tentang apa yang tidak atau belum kita miliki.

Juga, dengan banyak mengingat Allah dengan sendirinya kita lebih banyak mengingat akhirat, dan menjadikannya sebagai tujuan kita yang sesungguhnya.  Bukan dunia yang jadi tumpuan angan-angan kita.  Akhirat tempat kita kembali selama-lamanya, bukan dunia yang hanya merupakan tempat persinggahan yang hanya sebentar.  Bahkan hidup di dunia ini hanyalah seperti satu saat di sore hari ("Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari." - QS An-Nazi'at: 46).  Dengan memahami dan menghayati bahwa dunia ini hanyalah sementara sifatnya, kita tidak mudah terombang-ambing oleh permasalahan hidup, tidak mudah galau dengan berbagai problem, tidak merasa sangat kehilangan sesuatu atau seseorang apabila Allah mengambilnya dari kita, tidak mudah kesal dan marah apabila ada hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita.  Bukankah ketenangan batin seperti itu yang membuat bahagia? Perasaan puas, cukup (qana'ah) dengan apa yang Allah berikan kepada kita. 

Jadi, walaupun hal-hal material seperti yang disebutkan di awal (kendaraan, rumah, jabatan, dll) itu dapat mendatangkan kesenangan dan kebanggaan, itu bukanlah kebahagiaan yang hakiki.  Semua itu sifatnya sementara dan akan lepas dari genggaman kita suatu saat, dan tidak akan kita bawa saat kita meninggalkan dunia.  Kebahagiaan hakiki ada di dalam hati kita.  Hati yang tenang dan banyak mengingat Allah-lah yang mendatangkan kebahagiaan. 

Tentu saja bukan berarti kita tak boleh kaya, tak boleh punya jabatan, tak boleh punya kedudukan di masyarakat. Semua itu diperbolehkan selama kita dapatkan dengan cara yang halal.  Namun apabila Allah mengaruniakan hal-hal tersebut kepada kita, kita tidak lupa pada Allah, tidak mengendorkan semangat ibadah kita, tidak mengurangi interaksi kita dengan Al Quran.  Dengan demikian hal-hal material itu menambah rasa syukur kita kepada Allah dan mendekatkan diri kita kepada Allah.  Seperti ucapan Nabi Sulaiman saat diberi berbagai karunia dari Allah berupa kekayaan dan kekuasaan yang luar biasa, beliau berkata, ".... Maka ketika dia (Sulaiman) melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata, "Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya, Mahamulia." (QS An Naml: 40)

Semoga Allah mengaruniakan kebahagiaan bagi kita di dunia ini, dan terlebih di akhirat nanti.  Aamiin.

Alhamdulillah, astaghfirullah.

Shalawat atas Nabi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun