Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pejuang Mantatenu

2 September 2019   22:56 Diperbarui: 2 September 2019   23:14 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar Arumbai, Ambon ( Gambar diambil dari Ig wiliamwongso)

Kukuruyu...
Kukuruyu...
Kukuruyu...

Suara kokok ayam jantang telah membangunkan pagi dari keheningan malamnya. Pertanda hari ini telah mulai dan hari kemarin telah berlalu.

Belum terdengar beduk subuh. Hasna telah bangun meninggalkan kasurnya dan menyiapkan tas belanjaan yang akan di bawa nanti ke pasar.

Hanya dengan segelas teh manis hangat, ia bekali perutnya dan menuju pasar Arumbai dengan menaiki mobil angkut bersama para jibu-jibu (penjual ikan) yang lain.

Setiba di pasar, tradisinya tidak pernah hilang dari kesunyian dan teriakan. Proses tawar menawar kian menjadikan heningnya pagi kini penuh dengan obrolan nilai ekonomi.

Saya menyebut Hasna dan beberapa jibu-jibu lainnya dengan sebutan Pejuang Mantatenu( awal pagi ). Jelas, sebutan ini pantas bagi mereka yang bergerak mencari hidup ketika para suami masih tertidur pulas di atas kasur.

Mereka bagaikan pejuang demi menghidupkan keluarga dari derita kehidupan. Terlebihnya tak ada super hero yang sehebat mereka. Piki saya seperti itu.

Di pasar, Hasna membeli sebakul ikan dan sekantung sayur-mayur. Hasil belanjaannya akan ia jual lagi di kampungnya dengan cara berkeliling.

Rutinitas paginya seperti itu. Kepasar belanja kemudian hasil belanjaannya akan dijual keliling lagi dikampung.

Apa yang menjadi konsentrasi Hasna adalah bagaimana kemudian yang ia lakukan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dan dapat menyelesaikan masa studi anak semata wayangnya, Harun dari surganya universitas.

***

Ikan, ikan, ikan, ada yang mau beli ikan," teriak Hasna dengan beban sebakul ikan diatas kepalanya.

Ikan berapa itu Hasna," sahut suara Marni dari rumahnya.

10 ribu 8 ekor bu Mar," jawab Hasna.

Beta beli 20 ribu jua Hasna," ucap Marni.

Dibelilah ikan Momar itu dari Hasna.

Ikan masih segar inikah," tanya Marni lagi.

Iya, masih segar. Baru beta beli di Pasar Arumbai tadi pagi Bu Mar.

Adoo, pasti enak ini kalau digoreng terus makan sama nasi dingin.

Nah, cocok itu Bu Mar.

setelah itu Hasna kemudian pergi meninggalkan Bu Marni yang sudah membeli ikannya. Dan seperti biasa, teriak ala jibu-jibu untuk warga sekitar membeli ikan tak pernah lepas dari mulutnya.

Sejak itu, atas puji Tuhan. Ikan sebakul penuh yang dijualnya ludes dibeli warga. Hasna punya insting yang kuat dengan telah menyiapkan 20 ekor ikan dari sebakul belanjaanya untuk santapan keluarga.

Usai tiba dirumah dari apiknya jualan keliling dengan berjalan kaki. Itsokay, bukan masalah berat baginya, tak ada kata menyerah bagi perempuan beranak satu ini. Saya sangat terharu kepadanya, perjuangnnya sangat melebihi batas kemanusiaan.

Batas waktu istirahat Hasna dirumah tidak terhitung menit. Dapur kali ini merupakan tempat ia menyalurkan tenaganya dengan memasak. Karena bila tidak, bentakan sang suami pasti menyertainya.

Peristiwa semacam ini banyak sekali saya temukan. Pelayanan terhadap suami sangat diutamakan tanpa pernah berfikir bahwa perjuangan seorang perempuan sejak subuh pagi minimalis untuk dihargai.
***
Sorenya Pejuang Mantatenu itu bersama sang suami pergi ke kebun mengambil kayu bakar. Sang suami hanya mampu menyediakan kayu bakar untuk kebutuhan memasak memakai tungku.

Mengharapkan bahan bakar minyak tanah tentu akan memboros keuangan keluarga. Sementara alam telah menyiapkan bahan untuk diolah, semestinya kita manfaatin saja anugerah ini demi kebutuhan kita.

Seikat kayu bakar dan beberapa buah kelapa kering di bawa Hasna. Sedangkan sang Suami memikul batang pohon cengkih kering dengan ukuran panjang 2 meter.

Aktivitas keluarga yang sangat rukun bila dipandang, namun karakter monotonnya masih terbeban di Hasna. Warga sekitar masih meyakini bila sang suami adalah kepala keluarga. Tetapi bagi saya Hasnalah yang pantas mendapat gelar itu.

Kenapa, karena beban ganda yang harus ia pikul sementara sang suami bekerja semaunya. Bangunan penilaian warga semestinya harus dirubah menggingat ada beban pengalaman yang dirasakan Hasna dan tidak dirasakan sang suami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun