Sejak awal sejarah modern, geografi, sumber daya alam, dan struktur demografi selalu menjadi fondasi lahirnya ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, hingga pertahanan dan keamanan. Dari kombinasi inilah kemudian lahir mazhab-mazhab besar yang memengaruhi wajah dunia. London dan Washington menjadi contoh utama bagaimana sebuah sistem politik-ekonomi dibangun di atas struktur masyarakat yang menguasai jalur perdagangan, sumber energi, dan wilayah strategis. Namun, di balik narasi besar tentang hegemoni dan dominasi, ada satu hal yang kerap lolos dari kendali: optimisme.
London, Washington, dan Jejak Struktur Masyarakat
Sistem London berakar pada kekuatan maritim, perdagangan global, serta kelas bangsawan dan pedagang yang menguasai jalur laut. Dari abad ke-16, elite Imperium Inggris mengonstruksi struktur sosial yang menopang kapitalisme global. Ketika sistem ini berkembang, muncul pula sistem Washington yang mengakar pada kekuatan finansial-industrial Amerika Serikat, dibentuk oleh demografi imigran, penguasaan energi, serta jaringan militer dunia.
Kedua sistem ini menanamkan gagasan hegemoni yang kuat, dengan memanfaatkan politik, ekonomi, bahkan budaya untuk memastikan dominasi. Namun, keduanya juga menunjukkan bagaimana sebuah bangsa mengelola SDA, demografi, dan posisi geografis menjadi basis kekuatan politik-ekonomi.
Resonansi Zaman dan Seni
Di luar kerangka politik dan ekonomi, masyarakat kerap menangkap perubahan zaman melalui seni. Musik, termasuk pop dan dangdut, menjadi medium paling cepat menyuarakan resonansi kolektif. Walaupun banyak terdistorsi oleh agenda industri budaya, ada momen di mana lagu benar-benar merekam esensi perubahan.
Di titik ini, lagu "So Long, London" menjadi salah satu simbol menarik. Ia bukan sekadar karya pop, melainkan cermin bagaimana individu dan masyarakat mencoba memahami, menolak, atau bahkan mengucapkan selamat tinggal kepada dominasi lama. Lagu ini hadir sebagai medium untuk menangkap pergeseran psikologis dan afektif yang tak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh otoritas atau elite hegemonik.
Optimisme yang Lolos dari Hegemoni
Optimisme bekerja di ranah yang unik: afektif, spontan, seringkali orisinil. Ia tidak sepenuhnya bisa ditata oleh kurikulum, narasi resmi, atau propaganda politik. Justru di era pasca-pandemi, ketika COVID-19 gagal menjadi "reset" seperti krisis-krisis abad sebelumnya, optimisme muncul sebagai energi baru.
Ekonomi dunia masuk pada fase krisis berlapis, disertai fragmentasi geopolitik. Hegemoni tunggal sudah tidak lagi berjalan di satu koridor. Namun, realitas baru justru menunjukkan kapasitas masyarakat global untuk berpikir kritis (higher order thinking skill), membongkar skenario terselubung, dan menghadirkan citizen journalism yang dengan cepat menemukan jati diri publik.
