Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Antara Mi Kocok dan Dilema Kereta Cepat, Melirik APBN

12 Oktober 2025   08:02 Diperbarui: 12 Oktober 2025   08:02 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajah Kereta Cepat yang Membanggakan  (Foto : Kompas.Money)

Bayangkan begini.Warga Jakarta pengin banget makan Mi Kocok Bandung --- panas, kental, gurih.Sebaliknya, warga Bandung ngidam Soto Betawi yang santannya tebal dan empingnya renyah.

Tapi setiap kali Mi Kocok dikirim ke Jakarta, kuahnya keburu dingin.
Soto Betawi yang dibawa ke Bandung pun basi di tengah jalan tol.
Lalu muncul ide besar:

"Kita buat kereta cepat! Biar Mi Kocok masih panas waktu sampai Jakarta, dan Soto Betawi tetap segar saat tiba di Bandung."

Dari Dapur ke Rel

Begitulah awalnya proyek Kereta Cepat Jakarta--Bandung (KCJB) berdiri.
Empat BUMN --- KAI, Wijaya Karya, Jasa Marga, dan PTPN VIII --- sepakat patungan dalam dapur baru bernama KCIC.
Negara bilang:

"Silakan, asal jangan pakai uang dapur negara. Ini bisnis murni --- B to B."

Artinya, kalau nanti Mi Kocoknya laris dan Soto Betawinya viral, keuntungannya dibagi.
Tapi kalau sepi pembeli, ya tanggung bareng, jangan tiba-tiba minta APBN ikut bayar cicilan.

Kuahnya Meluber, Uangnya Seret

Masalahnya, setelah restoran megah itu buka, modalnya keburu bengkak.
Harga bahan naik, alat masak impor mahal, dan pembeli belum seramai harapan.
Sementara tagihan dari China Development Bank sudah datang lebih cepat dari jadwal keberangkatan Whoosh.

Akhirnya, para koki BUMN mulai melirik meja makan negara.

"Pak, bolehkah APBN bantu sedikit? Demi nama baik nasional..."

Tapi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak lembut tapi tegas:

"Kalau waktu untung BUMN yang makan, kenapa giliran rugi APBN yang bayar?"

Danantara: Bendahara Raksasa di Tengah Arus Uang

Di tengah kebingungan itu, muncullah Danantara, bendahara besar keluarga BUMN.
Ibarat franchise manager, Danantara mengatur setoran keuntungan dari ratusan "warung" milik negara.
Purbaya berargumen sederhana:

"Kalau waktu untung dividen disetor ke Danantara, ya waktu rugi biarlah Danantara dulu yang menutup. Jangan langsung minta APBN."

Tapi di sinilah persoalan baru muncul.
Di mana uang berkumpul dan mengalir, di situ godaan juga datang.

Danantara kini seperti Bendungan Jatiluhur fiskal --- menampung aliran dana raksasa dari berbagai sumber.
Uang BUMN yang dulu tercecer di banyak kanal, kini dikumpulkan jadi satu waduk besar.
Tujuannya efisiensi, tapi risikonya:

kalau pintu airnya bocor, banjirnya bisa ke mana-mana.

Sebab, di mana ada bendungan uang, di situ ada peluang:
dari pengaturan proyek, pinjaman, hingga dividen yang bisa "tersesat di tengah arus."
Singkatnya:

"Kalau dulu proyek rawan bocor di hilir, sekarang bisa bocor di hulu --- dan lebih besar volumenya."

Antara Ide Baik dan Bahaya Baru

Secara teori, konsep holding seperti Danantara memang bagus.
Ia bisa memperkuat struktur BUMN, menekan duplikasi proyek, dan meningkatkan return ke negara.
Tapi ketika Danantara menjadi penampung rugi dari semua anak usaha,
risiko moral hazard akan membesar.
BUMN yang salah langkah bisa dengan mudah berkata:

"Tenang saja, nanti Danantara bantu."

Kalau dibiarkan, holding ini bisa berubah jadi "lumbung bailout" ---
tempat semua proyek gagal antre minta ditolong.
Mulai dari Mi Kocok Kereta Cepat,
hingga nanti Ayam Goreng Bekasi dan Soto Mie Bogor ikut kirim proposal penyelamatan.

Penutup

Kereta cepat memang keren.
Ia simbol modernitas, kecepatan, dan kemauan bangsa untuk berlari.
Tapi jangan lupa: kecepatan tanpa kontrol bisa bikin nabrak fiskal.

Karena kalau arus uang sudah mengalir seperti Bendungan Jatiluhur,
dan semua pihak ingin ikut menimba di situ,
maka risiko bukan hanya defisit --- tapi juga deviasi moral.

Negara ini tidak kekurangan proyek ambisius.
Yang sering hilang justru rem kewaspadaan.
Dan di sinilah peran orang seperti Purbaya penting:
mengingatkan bahwa Mi Kocok boleh cepat sampai, asal jangan bikin dapur negara ikut mendidih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun