Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seduhan Galau, Kenikmatan Kopi Sejati Bukan di Cafe, Tapi di Gelas.

3 Oktober 2025   13:48 Diperbarui: 3 Oktober 2025   13:48 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
di Wilayah Bojonegoro ada Kopi Klotok Dengan khas Cangkir seperti gambar... Gagang di ganti pakai seng. (foto : diuangah dari :  NJA-Blog)

Segelas kopi dengan adukan kuat, ditemani srabi hangat dan ketan putih bertabur kelapa parut serta sambal kacang pedas manis, adalah definisi kenikmatan sejati di pagi hari. Itulah rasa kopi yang jujur: sederhana, merakyat, tapi mampu membuat hati tentram sebelum kaki melangkah ke pekerjaan.

Bukan gelas kristal atau cangkir caf mahal, tapi cangkir kampung dengan gagang gumpul yang sudah patah, lalu diganti besi ringan seadanya. Di situlah filsafat kopi hidup: sederhana, tidak mulus, tapi tetap berfungsi. Seperti hidup, yang seringkali tidak sempurna, namun tetap harus dijalani.

Kini, di era Instagram dan reels, kenikmatan kopi kerap dipoles filter kamera. Secangkir sederhana bisa tampak megah di layar, membuat orang lain ingin ikut menyeruputnya. Bedanya, kopi warung desa memang nikmat untuk diminum, bukan sekadar cantik untuk difoto.

Bandingkan dengan espresso yang ditekan paksa dari mesin pemanas: kelihatan gagah, tapi sering meninggalkan perut merintih dan asam lambung melonjak. Atau cappuccino dengan topping busa tebal yang sekilas menggoda, padahal setelah diminum justru membuat enek.

Kopi Kampung, Seduhan Galau Anak Muda

Di caf kota, pengunjung duduk dengan wajah penuh topeng. Ada yang sibuk mengetik, padahal lebih sibuk mencari colokan. Ada yang bergaya pebisnis, padahal dompetnya tipis. Caf adalah panggung kamuflase.

Sementara di kampung, setiap seruput kopi kampung punya makna:

  • Seruputan pertama, pahit lamaran kerja gagal maning, gagal maning.

  • Seruputan kedua, panas napas tersengal menghadapi calon mertua yang terus menuntut kapan nikah.

  • Seruputan ketiga, manis getir idealisme kuliah yang kandas karena biaya tak ada.

  • Seruputan berikutnya, hampa dikejar pinjol, kalah judol, atau distigma pengangguran di rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun