Tiga Aturan Sudah Ada, Tapi Atapnya Tiba-Tiba Dibangun Ulang
Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia sejatinya sudah ditopang oleh tiga regulasi utama:
Pertama, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Kedua, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
Dan ketiga, Peraturan Presiden Nomor 154 Tahun 2024 tentang Badan Penyelenggara Haji (BP Haji), yang merinci struktur, tugas, dan fungsi lembaga pelaksana teknis ini.
Secara logika kebijakan publik, seharusnya BP Haji diberi waktu untuk bekerja. Kita nilai efektivitasnya. Kita lihat hasilnya. Tapi belum sempat itu terjadi, lembaga ini justru "naik kelas" jadi Kementerian Haji dan Umrah. Bahkan sebelum ada evaluasi tahunan.
Belum Ada Rapor, Sudah Jadi Menteri
Perpres No. 154 Tahun 2024 baru diteken akhir tahun lalu. BP Haji bahkan belum sempat menunjukkan kinerja sistemik. Tapi tiba-tiba: berubah status, menembus kabinet, dan menduduki posisi struktural setingkat menteri.
Apakah ini didasarkan pada evaluasi kerja? Tidak.
Apakah karena sistem yang lama gagal total? Juga tidak.
Apakah karena kebutuhan jemaah? Belum tentu.
Ini lebih menyerupai promosi kelembagaan tanpa ujian. Kalau dalam dunia pendidikan, ini seperti siswa baru langsung dilantik jadi kepala sekolah. Bukan karena prestasi, tapi karena "jalur cepat".
Hukum Sudah Cukup, Yang Belum Cuma Konsistensi
Kalau bicara norma, UU 8/2019 sudah mengatur tentang penyelenggaraan haji dari A sampai Z, termasuk jalur furoda.
UU 34/2014 sudah jelas menetapkan bahwa pengelolaan keuangan haji dilakukan oleh BPKH.
Dan Perpres 154/2024 menjadi implementasi konkret dari lembaga operasional haji nasional: BP Haji.
Artinya, sistem hukum kita sudah cukup lengkap.
Yang belum ada justru kesabaran dan komitmen untuk menjalankan aturan itu secara optimal.
Menambah Kursi Bukan Jawaban