" Etika Konstitusi, Trauma Kekuasaan, dan Politik Diam dalam Demokrasi Algoritmik"Â
Surat yang Dibiarkan Diam
Beberapa waktu lalu, sekelompok purnawirawan TNI menyampaikan sebuah surat penting kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Isinya bukan permohonan biasa, melainkan desakan agar lembaga legislatif memproses pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Bukan karena korupsi, pengkhianatan, atau tindak pidana berat, tetapi atas dasar apa yang mereka sebut sebagai pelanggaran etika konstitusional---terutama dalam proses perubahan syarat usia capres-cawapres lewat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Namun hingga kini, tak ada kabar kelanjutan. Tidak ada pernyataan resmi dari pimpinan DPR. Tidak ada undangan rapat. Tidak pula penolakan formal. Surat itu seperti tak pernah datang. Diam adalah sikap yang dipilih. Sebuah diam yang justru mencolok, di tengah sistem demokrasi yang semestinya responsif terhadap suara publik---terlebih jika datang dari tokoh-tokoh yang pernah menjadi bagian dari struktur keamanan negara.
Mengapa DPR tak kunjung menyentuh surat itu? Apakah karena tidak relevan secara hukum? Atau karena terlalu relevan secara politik?
Ketika Etika Tak Punya Kaki Politik
Secara normatif, mekanisme pemakzulan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Prosesnya jelas dan konstitusional. Namun substansi "perbuatan tercela" sebagai alasan pemakzulan masih merupakan wilayah abu-abu. Ia bukan delik hukum yang objektif, melainkan tafsir etis yang memerlukan legitimasi politik agar bisa diproses secara hukum.
Di sinilah titik lemahnya surat dari para purnawirawan: ia membawa moral, tapi tidak membawa kekuatan politik. Di tengah parlemen yang mayoritasnya merupakan bagian dari koalisi penguasa, usulan yang tidak sejalan dengan arus dominan nyaris mustahil menjadi agenda resmi. Etika, tanpa kaki politik, tak akan pernah sampai ke ruang sidang.
Yang terjadi bukanlah pengabaian prosedur, melainkan kalkulasi kuasa. DPR bukan ruang normatif, tapi ruang negosiasi kepentingan. Dan pada konteks ini, Gibran bukan sekadar pejabat---ia simbol stabilitas pasca-pemilu. Menyentuhnya, berarti menggoyang bangunan politik yang sudah tersusun rapi.
Militer Bicara Etika, Politik Ingat Sejarah
Ada pula aspek sejarah yang tak bisa diabaikan. Usulan pemakzulan ini datang dari barisan purnawirawan---orang-orang yang di masa lalu pernah menjadi bagian dari doktrin Dwi Fungsi ABRI. Di era Orde Baru, mereka menduduki kursi parlemen tanpa pemilu, memegang kekuasaan tanpa oposisi.