Sudah saatnya kita mengkaji secara objektif: mana yang lebih efektif dalam mendukung proses belajar---sekolah atau bimbingan belajar? Penelitian kuantitatif dan kualitatif yang netral dan berbasis data sangat diperlukan agar kebijakan pendidikan tidak terjebak pada sentimen atau prasangka.
Kembalikan Sekolah sebagai Ruang Belajar yang Utuh
Bukan berarti kita menafikan peran bimbel. Namun sekolah tetap harus menjadi aktor utama, bukan figuran dalam proses pendidikan. Sekolah idealnya menjadi one stop service bagi tumbuh kembang anak---akademik, karakter, spiritualitas, dan kemandirian.
Jika dibutuhkan, pendekatan seperti full day school bisa menjadi alternatif. Tapi bukan sekadar memperpanjang jam, melainkan memperkaya isi hari anak dengan aktivitas bermakna---proyek sosial, diskusi etika, seni budaya, keterampilan hidup, hingga literasi digital.
Sekolah perlu berani berkata :Â
"Di sini, kamu cukup. Kamu bisa belajar, tumbuh, dan siap bersaing tanpa harus bergantung pada tambahan dari luar."
Bukan Tentang Siapa Benar, Tapi Apa yang Lebih Bijak
Sherly dan Dedy adalah dua kutub yang mewakili respons berbeda atas tantangan yang sama. Kita bisa menghormati niat baik keduanya, sambil mengingatkan bahwa pendidikan adalah ruang yang sangat kompleks---harus disikapi dengan hati-hati, melibatkan ahli, dan tentu, berpijak pada kepentingan anak.
Karena pada akhirnya, bukan soal barak atau sekolah rakyat. Tapi soal bagaimana kita, sebagai bangsa, memastikan setiap anak mendapatkan haknya untuk tumbuh---secara intelektual dan emosional---dalam lingkungan yang mendidik, bukan menghukum.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI