Di ujung timur Indonesia, Gubernur Sherly Laos membangun tiga Sekolah Rakyat. Di sisi barat, Gubernur Jawa Barat Dedy Mulyadi menggagas pengiriman siswa bermasalah ke barak militer.Â
Dua pendekatan berbeda. Satu lewat jalan inklusif, satu lagi lewat disiplin ketat. Tapi keduanya sejatinya menjawab satu pertanyaan besar, ada apa dengan sistem pendidikan kita hari ini?
Dua Gubernur, Dua Gaya Kepemimpinan
Sherly Laos, figur perempuan pertama yang memimpin Maluku Utara, meluncurkan program Sekolah Rakyat untuk menampung 1.000 siswa dari kalangan bawah. Ia mengusung semangat pendidikan yang merangkul, berlandaskan empati, dan kembali ke akar: pendidikan sebagai sarana pembebasan sosial.
Di sisi lain, Dedy Mulyadi mencoba pendekatan pembinaan karakter melalui kedisiplinan gaya militer. Siswa yang terlibat dalam perilaku menyimpang seperti tawuran, geng motor, atau kecanduan gawai, akan dititipkan ke barak untuk "ditempa", bukan dihukum.
Tentu saja, program ini menimbulkan kontroversi. Komnas HAM, KPAI, dan akademisi menyoroti aspek legalitas, hak anak, dan urgensi pendekatan alternatif. Namun di balik perdebatan ini, ada kegelisahan yang lebih fundamental: mengapa kita merasa perlu mencari jalan pendidikan di luar sekolah formal?
Sekolah Hari Ini, Antara Ideal dan Realitas
Kita perlu jujur---sekolah saat ini berada dalam tekanan. Banyak siswa dan orang tua merasa bahwa keberhasilan belajar tidak lagi bergantung sepenuhnya pada sekolah, melainkan pada kursus tambahan dan bimbingan belajar. Fenomena ini terjadi bukan karena sekolah gagal secara total, melainkan karena ekspektasi masyarakat terhadap hasil akademik semakin tinggi dan kompetitif.
Hari ini, ketika seorang anak ingin unggul dalam matematika, ia diarahkan ke Kumon, sempoa dan metode modern laiinya.Untuk Bahasa Inggris, ke LIA ILP, dll, Untuk UTBK? Masuk bimbel sejak kelas 10, yang memberikan promo sukses UTBK.
Sekolah tetap menjadi ruang penting, namun pelengkapnya justru semakin dominan.
Ini bukan sekadar tren, melainkan gejala yang layak diteliti lebih dalam.
Sudah saatnya kita mengkaji secara objektif: mana yang lebih efektif dalam mendukung proses belajar---sekolah atau bimbingan belajar? Penelitian kuantitatif dan kualitatif yang netral dan berbasis data sangat diperlukan agar kebijakan pendidikan tidak terjebak pada sentimen atau prasangka.
Kembalikan Sekolah sebagai Ruang Belajar yang Utuh
Bukan berarti kita menafikan peran bimbel. Namun sekolah tetap harus menjadi aktor utama, bukan figuran dalam proses pendidikan. Sekolah idealnya menjadi one stop service bagi tumbuh kembang anak---akademik, karakter, spiritualitas, dan kemandirian.
Jika dibutuhkan, pendekatan seperti full day school bisa menjadi alternatif. Tapi bukan sekadar memperpanjang jam, melainkan memperkaya isi hari anak dengan aktivitas bermakna---proyek sosial, diskusi etika, seni budaya, keterampilan hidup, hingga literasi digital.
Sekolah perlu berani berkata :Â
"Di sini, kamu cukup. Kamu bisa belajar, tumbuh, dan siap bersaing tanpa harus bergantung pada tambahan dari luar."
Bukan Tentang Siapa Benar, Tapi Apa yang Lebih Bijak
Sherly dan Dedy adalah dua kutub yang mewakili respons berbeda atas tantangan yang sama. Kita bisa menghormati niat baik keduanya, sambil mengingatkan bahwa pendidikan adalah ruang yang sangat kompleks---harus disikapi dengan hati-hati, melibatkan ahli, dan tentu, berpijak pada kepentingan anak.
Karena pada akhirnya, bukan soal barak atau sekolah rakyat. Tapi soal bagaimana kita, sebagai bangsa, memastikan setiap anak mendapatkan haknya untuk tumbuh---secara intelektual dan emosional---dalam lingkungan yang mendidik, bukan menghukum.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI