Zaman kolonial dulu, kita punya sebutan pahit, inlander --- rakyat kelas dua yang harus tunduk, patuh, dan tidak usah banyak tanya. Di rumah-rumah kaum priayi, muncul kasta lain jongos, yang tugasnya melayani, menerima perintah, dan tidak diajak berpikir.
Kini, zaman sudah merdeka. Tapi dalam banyak sisi, watak lama itu masih hidup --- tampil dalam wajah baru: anak-anak sekolah yang diajari diam dan menerima, bukan berpikir dan bertanya.
MBG dan Mitos Kemakmuran Instan
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah niat baik yang berubah arah. Tujuannya mengentaskan stunting, meningkatkan gizi, menyamakan kesempatan.
Tapi di lapangan, yang terlihat: antrean panjang nasi kotak, tanpa kesadaran kritis. Sekolah jadi titik distribusi bantuan, bukan pusat pembelajaran. Anak-anak lebih tahu jadwal makanan datang ketimbang jadwal ujian. Dan orang tua mulai bertanya, "Kalau nanti lulus, masih dapat makan gratis nggak?"
Keracunan vs Ketagihan, Mana Lebih Bahaya?
Belakangan ini, ramai soal siswa keracunan makanan MBG. Media heboh, kementerian sibuk klarifikasi. Tapi itu masalah yang bisa ditangani: dirawat, sembuh, selesai.
Yang jauh lebih bahaya adalah ketagihan. Ketagihan bantuan. Ketagihan disuapi. Ketagihan jadi penerima.
Ketagihan ini membentuk mental jongos versi baru:
Anak sekolah yang terbiasa ditolong, tak siap berjuang.
Generasi muda yang mengira semua hak datang tanpa usaha.