Sherly Laos, Gubernur Maluku Utara, melakukan sebuah aksi yang tak biasa. Ia menyelam di laut Halmahera menggunakan kostum putri duyung berwarna hijau kebiruan.Â
Tanpa alat bantu selam, tanpa tabung oksigen, Sherly meluncur ke kedalaman dengan tenang dan percaya diri. Bukan demi konten viral, bukan demi sanjungan, tapi untuk satu tujuan: memperkenalkan potensi bawah laut Maluku Utara yang luar biasa indah.
Aksi ini menjadi simbol kuat. Bukan hanya karena keberaniannya menyelam tanpa pengaman, tapi karena Sherly menunjukkan kualitas yang langka di tengah sorotan publik terhadap para pejabat ketulusan, keheningan, dan kedalaman.Â
Dalam dunia politik yang riuh oleh pencitraan dan keributan, Sherly memilih jalan yang sunyi, namun bermakna.
Sementara Sherly menyelam ke laut dengan kesadaran penuh, di Senayan justru banyak pejabat yang tenggelam---bukan di laut, tapi di dalam pusaran pencitraan, konflik kepentingan, dan kehilangan arah.Â
Kita menyaksikan bagaimana para Wakil Ketua DPR sering tampil di media, bukan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi justru menjadi Juru Bicara kebijakan eksekutif, melampaui batas tugas pokok dan fungsi mereka.
Mereka rebutan mikrofon, bicara seolah-olah tahu segalanya, tanpa refleksi, tanpa rujukan, tanpa empati. Bahkan ada yang bangga menyebut dirinya "korea-korea", sebuah istilah yang awalnya dianggap puitis, tapi kemudian justru mengaburkan makna integritas. Istilah itu digunakan untuk menandai kesetiaan mutlak kepada ketua partai.Â
Padahal, dalam sistem demokrasi, wakil rakyat seharusnya setia pada rakyat, bukan pada tokoh politik.
Ketika DPR berubah fungsi menjadi perpanjangan tangan partai, ketika suara anggota dewan tak lebih dari gema ruang rapat elit, maka tenggelamnya wakil rakyat di Senayan bukan hanya kiasan---itu kenyataan.
Di sisi lain, kita juga menghadapi fenomena gubernur konten. Setiap hari, ada video baru: menangis saat memberi buku, menangis lagi saat membantu nenek menyebrang, marah karena sampah, marah karena lampu jalan, marah karena hal remeh lainnya. Semua direkam, semua dibagikan.Â
Bukan untuk mendorong perubahan sistemik, tapi sekadar masuk FYP TikTok.
Seolah-olah jadi pemimpin itu cukup dengan membuat orang menangis atau tersentuh di media sosial. Padahal rakyat tak butuh air mata, mereka butuh air bersih. Rakyat tak butuh adegan menyeka peluh, mereka butuh layanan kesehatan yang layak.
Sherly Laos tak perlu menampilkan air mata. Ia tidak perlu marah-marah di depan kamera. Ia turun ke laut, membawa pesan lewat tindakan. Ketika banyak pemimpin hari ini sibuk berakting, Sherly menunjukkan bahwa aksi nyata bisa bicara lebih keras dari jutaan kata.
Menyelam ke dasar laut bukan hal sepele. Dibutuhkan keberanian, kontrol napas, dan keyakinan penuh. Apalagi tanpa alat bantu. Sherly memperlihatkan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang berani masuk ke wilayah gelap dan berisiko, bukan sekadar berjalan di permukaan yang aman.
Andai saja para pejabat di Senayan belajar menyelam seperti Sherly---bukan ke laut, tapi ke dalam hati nurani mereka sendiri---mungkin negeri ini akan jauh lebih jernih. Mereka akan tahu bahwa kekuasaan bukan untuk disombongkan, tapi untuk menyelami penderitaan rakyat, dan membawa mereka naik ke permukaan harapan.
Sherly Laos menyelam, namun ia tak tenggelam. Di Senayan, mereka tidak menyelam, tapi justru tenggelam---dalam euforia, dalam kepura-puraan, dan dalam kepentingan yang tak lagi berpihak pada rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI