Hidup ini penuh ironi. Ada orang yang berjuang keras dari nol, jatuh bangun hingga berdarah-darah, lalu akhirnya sukses dan menduduki puncak karier. Namun, justru di puncak itulah mereka tersandung, jatuh, dan tak bisa bangun lagi.
Kita sering melihat berita di media tentang pejabat yang tertangkap tangan oleh aparat penegak hukum. Mereka bukan orang sembarangan, bukan orang yang gagal dalam hidup---
justru mereka adalah orang-orang yang sudah sukses! Posisi puncak telah mereka raih, gaji miliaran masuk rekening setiap bulan. Jika hanya untuk hidup hedon, nongkrong di restoran bintang lima, membeli mobil sport, atau berlibur ke luar negeri, uang mereka jelas lebih dari cukup.
Namun, mengapa mereka masih tergoda untuk korupsi?
Apakah mereka ini "gak kuat drajat"? Seperti kata filosofi Jawa, "Urip iku mung mampir ngombe," alias hidup hanya mampir minum. Tapi apakah karena airnya melimpah, lantas harus minum sebanyak-banyaknya sampai kembung? Apakah mereka berpikir, "Ah, sekali minum, sekalian tenggelam?"
Mari kita telaah fenomena ini dengan lebih santai, sambil menunggu waktu untuk ngabuburit.
You Only Need One, Sekali Korupsi, Selamanya Ketagihan
Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial. Ia adalah perangkap psikologis yang, sekali terperosok, sulit untuk keluar. Seorang pejabat yang pertama kali mencicipi uang haram mungkin awalnya ragu.Â
 "Waduh, ini salah nggak ya?" Tapi setelah melihat rekening bertambah tanpa ada konsekuensi langsung, ia mulai berpikir, "Wah, kok enak ya? Sekali lagi deh."
Lalu, boom! Hidupnya berubah total.
Tadinya, naik mobil dinas biasa sudah cukup. Setelah korupsi pertama, mulai melirik mobil Eropa. Tadinya, tinggal di rumah kompleks biasa sudah nyaman, sekarang harus punya vila di Bali. Tadinya, makan sate ayam di pinggir jalan pun nikmat, sekarang tidak bisa kalau bukan steak Wagyu. Dan yang paling gawat, tadinya setia kepada istri, kini mulai terpikir punya "cabang", sekelas artis lagi.
Singkatnya, sekali korupsi, hidupnya bertransformasi.
Ibarat orang yang pertama kali mencicipi makanan mahal, lidahnya jadi naik kelas. Jika dulu cukup nasi goreng abang-abang, sekarang maunya harus fine dining. Begitu juga dengan gaya hidup mewah yang datang dari korupsi. Makin lama, makin mahal. Makin mahal, makin butuh uang lebih banyak. Dan karena gaji sah tidak cukup untuk menutupi gaya hidup itu, solusinya? Korupsi lagi.
Begitulah lingkaran setan itu berjalan.
Masalahnya, aparat penegak hukum bukan sekadar penonton. Mereka ini seperti pemancing yang sabar, menunggu ikan besar menggigit umpannya. Para koruptor yang makin rakus pun makin mudah terjerat. Lalu, begitu tertangkap, barulah sadar bahwa semua yang mereka kejar hanyalah fatamorgana.
Gagal Butuh Perjuangan, Sukses Juga Butuh Perjuangan
Banyak orang mengira perjuangan hanya ada dalam kegagalan. Jika gagal, harus bangkit lagi. Tapi mereka lupa, sukses juga butuh perjuangan untuk mempertahankannya. Bedanya, jika perjuangan dalam kegagalan adalah tentang bertahan hidup, maka perjuangan dalam kesuksesan adalah tentang bertahan dari godaan.
Justru di puncak itulah ujian sebenarnya dimulai.
Seorang teman pernah bercerita, "Dulu, pas belum punya duit, ngeliat tas branded ya biasa aja. Tapi setelah punya duit, tiap lihat tas langsung kebayang gimana keren kalau dibeli." Begitulah sifat manusia---ketika mencapai sukses, standar kebutuhannya ikut naik. Dan jika tidak dikendalikan, maka sukses itu justru berubah menjadi jalan menuju kehancuran.
Mari kita pakai analogi lain.
Bayangkan seorang pria yang tadinya cuma tukang ojek biasa, tiba-tiba menang lotre miliaran rupiah. Awalnya, ia masih biasa saja. Tapi begitu uang di tangan, mulailah gaya hidupnya berubah. Mulai pakai jaket kulit mahal buat ngojek (walaupun panas), mulai beli motor gede (padahal bensinnya mahal), dan mulai nongkrong di kafe mahal (padahal tidak suka kopi). Singkatnya, hidupnya berubah drastis.
Masalahnya, uang lotre itu bukan penghasilan tetap. Tapi karena sudah keenakan hidup mewah, akhirnya mulai gali lubang tutup lubang. Dan seperti cerita para koruptor tadi, ujung-ujungnya? Kembali ke titik nol.
Dalam kesuksesan, godaan tidak datang sekali, tetapi bertubi-tubi. Setiap hari ada kesempatan untuk tergoda lebih jauh. Dan di sinilah kekuatan seseorang untuk mengendalikan diri diuji.
Mereka yang bisa menahan diri, akan mempertahankan suksesnya dalam jangka panjang. Mereka yang gagal? Ya, seperti yang sering kita lihat di berita---dulu berkuasa, sekarang pakai rompi oranye.
Sukses Itu Bukan Tentang Mencapai Puncak, Tapi Bagaimana Bertahan di Sana
Sukses itu seperti naik gunung. Naiknya susah, butuh perjuangan. Tapi yang sering dilupakan orang adalah, turunnya lebih susah. Banyak pendaki gunung yang meninggal bukan saat naik, tetapi saat turun, karena kehilangan keseimbangan.
Begitu juga dengan hidup.
Kita bisa saja menang di awal, mencapai puncak karier dan finansial. Tapi jika tidak hati-hati, kita bisa kalah di akhir, kehilangan segalanya karena tidak bisa mengendalikan diri.
Kesuksesan bukanlah titik akhir dari perjalanan. Ia adalah gerbang menuju ujian yang lebih besar. Dan mereka yang benar-benar sukses bukanlah mereka yang hanya mencapai puncak, tetapi mereka yang bisa tetap berdiri tegak tanpa tergoda oleh angin godaan yang berhembus kencang di atas sana.
Jadi, jika hidup ini hanya mampir ngombe, ya minumlah secukupnya. Jangan sampai karena terlalu haus, malah tersedak dan jatuh dari kursi.
Sebagai penutup, disampaikan sebuah hadis:
"Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya." Hadis ini derajatnya shahih, diriwayatkan oleh Ibnu An-Najjar dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu.
Semoga kita semua selalu diberikan kesadaran untuk tidak hanya mengejar kesuksesan, tetapi juga menjaganya dengan kehormatan dan kebijaksanaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI