Sejarah Partai Demokrat
Partai Demokrat lahir dengan semangat perubahan dan modernisasi politik Indonesia. Sejak didirikan pada tahun 2001, partai ini menjadi salah satu kekuatan utama dalam politik nasional, terutama setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil memenangkan pemilu presiden dua kali berturut-turut.Â
Namun, kejayaan itu perlahan memudar setelah kepemimpinan SBY berakhir pada 2014. Alih-alih berkembang menjadi partai dengan sistem kaderisasi yang solid, Demokrat semakin terjebak dalam bayang-bayang politik dinasti yang menghambat regenerasi kepemimpinan.
Perolehan Kursi DPR yang Terus Merosot
Tren penurunan kursi DPR yang dialami Demokrat adalah cerminan dari kehilangan daya saing partai ini di mata pemilih. Data pemilu mencerminkan realitas tersebut:
Pemilu 2009: 148 kursi (20,85%)
Pemilu 2014: 61 kursi (10,19%)
Pemilu 2019: 54 kursi (7,77%)
Pemilu 2024: 44 kursi (6,99%)
Fakta ini menunjukkan bahwa Demokrat gagal beradaptasi dengan perubahan dinamika politik.Â
Tidak adanya inovasi dalam strategi, lemahnya kaderisasi, dan dominasi kepemimpinan keluarga Yudhoyono membuat partai ini kehilangan relevansi. Jika tidak ada langkah konkret, Demokrat bukan hanya akan menjadi partai menengah, tetapi bisa tersingkir dari persaingan politik nasional.
Kaderisasi yang Tidak Berjalan dan Dinasti yang Mengakar
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Demokrat adalah kaderisasi yang mandek.Â
Alih-alih melahirkan tokoh-tokoh baru dengan kompetensi tinggi, partai ini justru semakin menutup diri dan memperkuat posisi dinasti politik.Â
Pengangkatan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum menjadi simbol dari keterbatasan internal Demokrat dalam membangun pemimpin baru.
Banyak kader muda potensial yang tersingkir karena tidak memiliki jalur yang jelas dalam struktur partai.Â
Selain itu, kader di daerah cenderung lebih loyal kepada dinasti dibandingkan pada ideologi atau visi partai. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan semakin melemahkan posisi Demokrat, terutama di mata pemilih rasional yang mencari partai dengan sistem meritokrasi yang jelas.
Demokrat perlu melakukan perubahan besar jika ingin bertahan dan relevan dalam politik nasional. Reformasi kepemimpinan harus dilakukan dengan memberi ruang bagi figur-figur baru yang kompeten dan inovatif.Â
Tidak hanya itu, partai harus mulai meninggalkan pola lama yang bergantung pada ketokohan individu dan beralih pada sistem kaderisasi yang lebih profesional dan berbasis meritokrasi.
Selain itu, Demokrat juga harus membangun kembali citra politiknya dengan menawarkan program-program konkret yang mampu menarik simpati publik. Isu-isu seperti ekonomi, lapangan kerja, dan kesejahteraan sosial harus menjadi fokus utama, bukan sekadar memainkan peran sebagai oposisi tanpa strategi yang jelas.
Jika Demokrat tetap mempertahankan sistem politik dinasti tanpa perubahan signifikan, maka partai ini berisiko kehilangan dukungan publik secara drastis. Reformasi internal bukan lagi pilihan, tetapi keharusan. Jika tidak segera berbenah, Demokrat akan tenggelam dalam sejarah sebagai partai yang gagal beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI