Menjadi kepala daerah itu bukan cuma soal memimpin daerah, tapi juga harus pandai menyeimbangkan loyalitas ke partai dan tanggung jawab ke masyarakat.Â
Seperti yang terjadi baru-baru ini, Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, meminta kepala daerah dari partainya untuk menunda keikutsertaan dalam retret yang diadakan oleh Kemendagri di Magelang. Tentu saja, instruksi ini langsung jadi perbincangan.
Di satu sisi, keputusan ini dianggap sebagai bentuk solidaritas terhadap partai setelah Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto, tersandung kasus hukum. Tapi di sisi lain, kepala daerah punya amanah besar untuk menjalankan tugas dan mengabdi pada masyarakat.Â
Lalu, mana yang harus mereka dahulukan? Patuh ke partai atau fokus bekerja untuk rakyat?
Belenggu Para Kepala Daerah Terpilih
Memimpin daerah dengan latar belakang partai besar punya plus minusnya. Dukungan politik jelas membantu mereka terpilih, tapi setelah duduk di kursi kepala daerah, muncul konsekuensi. Mereka harus tetap mengikuti arahan partai, walaupun terkadang kebijakan partai bisa berseberangan dengan kepentingan daerah.
Kalau mereka memilih untuk ikut instruksi partai, bisa-bisa mereka dicap lebih memikirkan partai daripada rakyat. Tapi kalau mereka lebih memilih tugas pemerintahan, bisa dianggap membelot dan kurang loyal terhadap partai yang telah mengusung mereka. Posisi seperti ini jelas sulit, bagaikan buah simalakama. Mau tetap ikut aturan partai atau bergerak lebih leluasa demi kepentingan rakyat?
Jargon Petugas Partai vs Otonomi Daerah
Sebutan "petugas partai" sering kali menjadi sorotan dalam dinamika politik Indonesia. Kepala daerah yang berasal dari partai tertentu dianggap harus tunduk pada garis kebijakan partai.Â
Tetapi apakah ini benar-benar diperlukan? Faktanya, kepala daerah terpilih sering kali berkoalisi dengan partai lain dalam menjalankan pemerintahan daerah.Â
Mereka harus bisa membangun sinergi dengan berbagai pihak, bukan hanya mengikuti arahan satu partai saja.