"Pak, coba hitung dengan teliti lagi. Benarkah anggaran dipotong besar-besaran, atau ini hanya soal persepsi?"
Begitulah respons yang muncul ketika wacana efisiensi anggaran negara sebesar Rp306,69 triliun dikumandangkan. Seakan-akan negara ini berada dalam krisis besar, padahal kenyataannya bisa jadi hanya merupakan bagian dari penyesuaian kebijakan yang wajar.
Kita lihat ke belakang, zaman Presiden Jokowi. Alokasi anggaran besar karena fokusnya memang pembangunan infrastruktur. Jalan tol, bandara, pelabuhan, bendungan, semuanya digenjot dalam waktu yang relatif singkat.Â
Jika ini diibaratkan perusahaan, Indonesia saat itu sedang melakukan investasi besar-besaran, membangun aset yang nantinya bisa menggerakkan ekonomi lebih cepat. Wajar jika utang bertambah, karena dalam dunia bisnis, investasi besar hampir selalu diiringi oleh penambahan liabilitas.
Namun, sekarang ceritanya berbeda. Tidak ada lagi target pembangunan besar. Ibu Kota Nusantara (IKN) yang tadinya jadi motor pertumbuhan pun tidak digenjot supaya segera rampung dan ditempati. Kalau proyek-proyek besar tidak lagi jadi prioritas, mestinya APBN pun tidak perlu sebesar sebelumnya.Â
Lalu, mengapa kita sibuk berteriak soal pemotongan anggaran seolah ini sesuatu yang luar biasa? Bukankah wajar jika setelah fase ekspansi, ada fase konsolidasi?
Coba Pakde Wito hitung lagi. Itu Menteri PU katanya anggarannya turun sekian persen. Lho, ya itu kan wajar, wong jumlah menterinya sekarang lebih banyak! Yang dulu ada Menteri PUPR, sekarang dibagi dua---PU punya menteri sendiri, PR punya menteri juga.Â
Kalau anggaran berkurang, ya target proyeknya juga turun. Bisa lebih santai, banyak istirahat. Bila perlu, kantor Work From Home (WFH) saja, toh dampaknya bisa mengurangi pengeluaran listrik, air, minum, kopi instan, makan di warung, dan biaya transportasi pegawai. Ini bukan soal darurat atau krisis, tapi soal bagaimana kita menyesuaikan diri dengan realitas yang ada.
Begini, Pak Jayadi, kalau bicara efisiensi itu bukan sekadar soal angka, tapi soal sistem yang berjalan. Kalau anggaran turun, ya otomatis target ikut turun. Nggak mungkin dengan anggaran lebih kecil, target tetap sama. Kalau target proyek berkurang, ya dampaknya merembet ke semua lini---rapat-rapat makin jarang, survei juga menurun, dan semua pembiayaan proyek pasti ikut menyusut.
Contohnya ya seperti warung Pak Minto ini. Kalau biasanya belanja lima sisir pisang buat gorengan, sekarang cuma mampu beli dua sisir. Artinya, pekerjaan lebih sedikit, bahan baku berkurang, dan tentu saja pendapatan juga turun. Nah, ini yang terjadi kalau anggaran dipotong tanpa perhitungan matang. Semua orang di rantai ekonomi ikut terkena dampaknya.
Di warung kopi, Pak Kromo dan Pak Jayadi duduk berhadapan, menikmati segelas kopi hitam yang mulai mendingin. "Coba kita pikir jernih, Pak Jayadi," kata Pak Kromo, menggeser gelas kopinya ke samping. "Kalau anggaran yang dipotong dari proyek-proyek dialihkan ke program Makan Bergizi Gratis (MBG), kita mesti tanya dulu, ini solusi atau sekadar pergeseran masalah?Â