Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Memaknai Efisiensi, Antara Realitas dan Retorika Anggaran

14 Februari 2025   05:24 Diperbarui: 14 Februari 2025   05:24 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Keluarkan Inpres No.1 tahun 2025, tentang efesiensi Anggaran (Foto : Kompas.com) 

"Pak, coba hitung dengan teliti lagi. Benarkah anggaran dipotong besar-besaran, atau ini hanya soal persepsi?"

Begitulah respons yang muncul ketika wacana efisiensi anggaran negara sebesar Rp306,69 triliun dikumandangkan. Seakan-akan negara ini berada dalam krisis besar, padahal kenyataannya bisa jadi hanya merupakan bagian dari penyesuaian kebijakan yang wajar.

Kita lihat ke belakang, zaman Presiden Jokowi. Alokasi anggaran besar karena fokusnya memang pembangunan infrastruktur. Jalan tol, bandara, pelabuhan, bendungan, semuanya digenjot dalam waktu yang relatif singkat. 

Jika ini diibaratkan perusahaan, Indonesia saat itu sedang melakukan investasi besar-besaran, membangun aset yang nantinya bisa menggerakkan ekonomi lebih cepat. Wajar jika utang bertambah, karena dalam dunia bisnis, investasi besar hampir selalu diiringi oleh penambahan liabilitas.

Namun, sekarang ceritanya berbeda. Tidak ada lagi target pembangunan besar. Ibu Kota Nusantara (IKN) yang tadinya jadi motor pertumbuhan pun tidak digenjot supaya segera rampung dan ditempati. Kalau proyek-proyek besar tidak lagi jadi prioritas, mestinya APBN pun tidak perlu sebesar sebelumnya. 

Lalu, mengapa kita sibuk berteriak soal pemotongan anggaran seolah ini sesuatu yang luar biasa? Bukankah wajar jika setelah fase ekspansi, ada fase konsolidasi?

Coba Pakde Wito hitung lagi. Itu Menteri PU katanya anggarannya turun sekian persen. Lho, ya itu kan wajar, wong jumlah menterinya sekarang lebih banyak! Yang dulu ada Menteri PUPR, sekarang dibagi dua---PU punya menteri sendiri, PR punya menteri juga. 

Kalau anggaran berkurang, ya target proyeknya juga turun. Bisa lebih santai, banyak istirahat. Bila perlu, kantor Work From Home (WFH) saja, toh dampaknya bisa mengurangi pengeluaran listrik, air, minum, kopi instan, makan di warung, dan biaya transportasi pegawai. Ini bukan soal darurat atau krisis, tapi soal bagaimana kita menyesuaikan diri dengan realitas yang ada.

Begini, Pak Jayadi, kalau bicara efisiensi itu bukan sekadar soal angka, tapi soal sistem yang berjalan. Kalau anggaran turun, ya otomatis target ikut turun. Nggak mungkin dengan anggaran lebih kecil, target tetap sama. Kalau target proyek berkurang, ya dampaknya merembet ke semua lini---rapat-rapat makin jarang, survei juga menurun, dan semua pembiayaan proyek pasti ikut menyusut.

Contohnya ya seperti warung Pak Minto ini. Kalau biasanya belanja lima sisir pisang buat gorengan, sekarang cuma mampu beli dua sisir. Artinya, pekerjaan lebih sedikit, bahan baku berkurang, dan tentu saja pendapatan juga turun. Nah, ini yang terjadi kalau anggaran dipotong tanpa perhitungan matang. Semua orang di rantai ekonomi ikut terkena dampaknya.

Di warung kopi, Pak Kromo dan Pak Jayadi duduk berhadapan, menikmati segelas kopi hitam yang mulai mendingin. "Coba kita pikir jernih, Pak Jayadi," kata Pak Kromo, menggeser gelas kopinya ke samping. "Kalau anggaran yang dipotong dari proyek-proyek dialihkan ke program Makan Bergizi Gratis (MBG), kita mesti tanya dulu, ini solusi atau sekadar pergeseran masalah? 

Yang tadinya bekerja di proyek infrastruktur kini kehilangan penghasilan, sementara program makan gratis ini hanya mengakomodasi sebagian kebutuhan rakyat. Apakah ini benar-benar memperbaiki keadaan atau cuma mengganti siapa yang menanggung kesulitan?"

Pak Jayadi menghela napas, menatap lalu lintas yang ramai di luar warung. "Yang lebih penting sekarang, kalau benar-benar ingin efisiensi, harus ada pakta integritas yang tegas. Jangan lagi anggaran ini dimainkan untuk kepentingan politik atau biaya kampanye." 

"Betul itu, Pak Kromo! Yang dulu menggantungkan hidupnya di proyek, sekarang terpaksa mencari nafkah di tempat lain. Yang dulu kerja di kementerian, sekarang was-was apakah kontraknya diperpanjang. Kalau pemotongan anggaran tidak diikuti dengan strategi yang jelas, maka bukan efisiensi yang terjadi, tapi sekadar perpindahan beban dari satu kelompok ke kelompok lain."

Pak Jayadi menambahkan, "Alih-alih untuk menutupi kepentingan politik, Gubernur, Wali Kota, dan Bupati seharusnya tidak bisa seenaknya mengutak-atik anggaran ini. Bila perlu, proyek-proyek besar diberikan kepada perusahaan baru yang kompetitif, bukan perusahaan yang sudah terikat dengan mafia birokrasi. 

Jangan sampai efisiensi hanya jadi alasan untuk menutupi permainan lama dalam tubuh kementerian dan daerah."

Di warung kopi, percakapan semakin hangat. Bukan sekadar perbincangan biasa, tetapi refleksi dari kondisi yang sedang terjadi. Anggaran yang diklaim efisien di atas kertas, ternyata tidak serta-merta membawa kesejahteraan. Bagi rakyat kecil, ini bukan sekadar soal angka, melainkan bagaimana perubahan kebijakan benar-benar mempengaruhi hidup mereka.

Bahasa yang benar mestinya adalah, pemangkasan anggaran terjadi sebagai bagian dari konsolidasi dan evaluasi proyek infrastruktur tahun 2025. Namun, masyarakat dan netizen kini semakin kritis dan tidak bisa begitu saja menerima narasi efisiensi sebagai pemangkasan belaka. Efisiensi seharusnya tidak sekadar tentang mengurangi angka dalam APBN, melainkan bagaimana mengalokasikan anggaran dengan transparansi dan tujuan yang jelas.

Kalau dulu anggaran besar karena ada proyek strategis, sekarang pertanyaannya adalah apakah anggaran yang tersisa cukup untuk memastikan pelayanan publik tetap berjalan optimal? Jangan sampai pemotongan ini justru menciptakan ketidakpastian di masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi yang sedang dibangun. Jika tidak dikelola dengan baik, efisiensi bisa berubah menjadi pemangkasan tanpa strategi, dan itu justru memperburuk kondisi yang ada.

Mungkin kita terlalu terbiasa dengan angka besar, sampai lupa bahwa esensi efisiensi bukanlah sekadar pemotongan, tetapi bagaimana mengelola anggaran yang ada agar lebih efektif dan tepat sasaran. Jadi, mari kita berhitung lagi dengan kepala dingin. Jangan sampai kita terjebak dalam euforia efisiensi yang tidak lebih dari sekadar permainan angka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun