Sejarah Dua Kebijakan: Jalin Parsial, Danantara Total
Ketika PT Jalin Pembayaran Nusantara dibentuk oleh Menteri BUMN Rini Soemarno, harapannya sederhana tetapi strategis: menyatukan jaringan ATM bank-bank BUMN (Himbara) agar lebih efisien dan kompetitif. Jalin hanya mengambil bagian parsial dalam ekosistem perbankan, berfungsi sebagai penyedia switching dan layanan manajemen ATM, bukan sebagai pemegang penuh infrastruktur perbankan.
Sebaliknya, PT Danantara (Daya Anagata Nusantara) dibentuk oleh Menteri BUMN Erick Thohir dan hadir dengan ambisi yang jauh lebih besar. Tidak hanya mengelola satu sektor seperti perbankan, Danantara akan mengambil alih aset dari tujuh BUMN raksasa, mencakup perbankan, telekomunikasi, energi, hingga pertambangan. Jika Jalin sekadar menjadi subkontraktor ATM, Danantara menjadi pemilik penuh atas aset yang diambilnya.
Perbedaannya jelas, Jalin hanya mencuil sebagian kecil perbankan, sedangkan Danantara mencoba menguasai seluruh ekosistem BUMN strategis.
Jalin Menghadapi Tantangan Berat, Tidak Mampu Menjadi Pemain Utama
Jalin berhadapan dengan realitas keras industri finansial. Meski diberikan akses ke ATM Himbara, Jalin tidak pernah benar-benar menguasai industri switching atau infrastruktur pembayaran nasional.Â
Bank-bank BUMN seperti Mandiri, BRI, dan BNI tidak mau kehilangan kendali atas bisnis ATM dan CRM mereka, terutama karena bisnis ini masih menguntungkan. Namun, dalam praktiknya, Jalin tetap beroperasi, tetapi tidak mampu menjadi pemain utama yang menggantikan ATM Bersama atau jaringan switching besar lainnya.
Bank BUMN tetap menjalankan bisnisnya sendiri dan hanya menggunakan Jalin sebatas layanan teknis, bukan entitas pengendali industri pembayaran.
Jika Jalin yang hanya berperan sebagai pengelola switching tidak mendapatkan kepercayaan penuh dari bank-bank BUMN, maka tantangan bagi Danantara tentu jauh lebih besar dalam mengambil alih aset bernilai triliunan rupiah.
Bisakah Danantara Mengendalikan Perusahaan yang Sudah Tbk?
Berbeda dengan Jalin yang hanya menangani sistem transaksi, Danantara akan berhadapan dengan BUMN yang sudah menjadi perusahaan publik, seperti: Bank Mandiri (BMRI), BRI (BBRI),BNI (BBNI) ,Telkom Indonesia (TLKM). dll.
Sebagai perusahaan terbuka, BUMN ini memiliki ribuan pemegang saham publik, termasuk investor asing dan institusi besar. Jika Danantara ingin ikut campur dalam keputusan bisnis mereka, apakah harus mendapat persetujuan dari pemegang saham lainnya?
Keputusan Danantara dalam mengelola aset BUMN yang telah go public harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan investor publik dan stabilitas pasar modal, agar tidak menimbulkan ketidakpastian yang dapat berdampak negatif pada kepercayaan investor.
Kenapa Tidak Fokus pada BUMN Mati Suri?
Jika benar ingin menyelamatkan aset negara, mengapa Danantara tidak lebih dulu menangani BUMN yang sakit dan nyaris bangkrut? Saat ini, ada 22 BUMN yang dalam kondisi bermasalah, beberapa di antaranya:
PT Merpati Nusantara Airlines (sudah dibubarkan karena gagal restrukturisasi)
PT Kertas Leces (mati karena tidak mampu bersaing di industri kertas)
PT Istaka Karya (bangkrut akibat proyek macet dan utang besar)
PT PANN Multifinance (terjebak dalam utang sektor maritim yang tidak produktif)
PT Barata Indonesia (kesulitan likuiditas dan tidak kompetitif di industri baja)
Jika Danantara benar-benar ingin menciptakan nilai tambah bagi ekonomi, seharusnya mereka fokus pada restrukturisasi BUMN sakit lebih dulu, sebelum mengambil alih BUMN besar yang sudah sukses dan menguntungkan.
Mengelola BUMN yang sudah mapan mungkin terlihat sebagai langkah strategis yang aman, tetapi esensi dari revitalisasi ekonomi adalah bagaimana menyelamatkan BUMN yang bermasalah agar tidak terus menjadi beban negara.
Apakah Danantara Akan Jatuh ke Lubang yang Sama?
Jalin hanya mengambil peran kecil di sektor perbankan, tetapi gagal menjadi pemain dominan.
Danantara mengambil aset BUMN besar, tetapi belum ada kejelasan bagaimana ia akan mengelolanya di tengah sistem yang sudah berjalan.
Menguasai perusahaan Tbk. bisa menimbulkan konflik dengan pemegang saham publik.
Mengapa tidak fokus menyelamatkan BUMN mati suri terlebih dahulu sebelum mengambil aset yang sudah sukses?
Tanpa strategi yang matang dan implementasi yang efektif, Danantara berisiko mengalami nasib serupa dengan Jalin---sebuah kebijakan yang tampak menjanjikan di atas kertas, tetapi sulit diterapkan di lapangan.
Danantara bisa menjadi instrumen penting bagi ekonomi nasional, tetapi jika salah arah, ia hanya akan menjadi Jalin versi raksasa: penuh janji, minim eksekusi.
----------------
Referensi
Tempo.co, Kinerja 7 BUMN yang Digadang-Gadang Masuk Danantara Link
Kumparan, Penanganan 22 BUMN Sakit Ditargetkan Selesai 2027 Link
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI