Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mari Kita Militan Jadi Densus Anti Terorisme

1 Desember 2021   07:15 Diperbarui: 1 Desember 2021   07:33 2113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Abdul Wahid

Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku

Kata "teroris" menjadi kata yang akrab dalam ranah local hingga global. Teroris telah menjadi salah satu jenis kejahatan serius di negeri ini, termasuk di sejumlah negara di dunia. Kasus penangkapan sejumlah terduga teroris baru-baru ini hanya sampelnkejahatan terorisme telah menjadi wujud nyata kejahatan yang mengerikan. ya yang menunjukkan, bahwa terduga-terduga lainnya masih banyak.

Kalau diantara kita terus mendiskusikan dan gencar mencari dan merumuskan trategi untuk menanggulangi terorisme, maka ini adalah logis, pasalnya Kita tahu, pelaku kejahatan ini sudah mengakibatkan ribuan nyawa manusia melayang dan menghancurkan banyak sumberdaya publik. Salah satu pelaku oleh dunia minta diwaspadai sekarang adalah perempuan dan anak-anak.

Dari berbagai pemberitaan media, ada pesan supaya setiap anggota masyarakat, ormas, Negara, dan bangsa-bangsa di dunia mewaspadai teroris yang pelakunya berasal dari kalangan perempuan. Ini yang kemudian jadi alasan  supaya pemerintah memperbanyak anggota Densus 88 dari unsur perempuan.

Tuntutan memperbanyak unsur perempuan dalam Densus 88 sangat logis, mengingat terorisme itu tergolong komunitas kejahatan yang lihai membangun organisasinya, khususnya baik dari sudut pola operasionalitas maupun masifikasi jaringannya.

Petinju kenamaan Muhammad Ali pernah mengingatkan "Saya menentang segala macam terorisme". Petinju legendaris ini giat berkampanye mengajak bangsa-bangsa manapun di dunia untuk lebih serius melawan terorisme.

Ajakan Muhammad Ali itu logis, pasalnya siapapun elemen bangsa di muka bumi yang mencintai kedamaian lokal hinggal global, berkeharusan menjadikan terorisme sebagai musuh bersama (common enemy). Ajakan ini harus dibaca sebagai peringatan bahwa teroris itu sangat lihai.

Lihainya terorisme dapat terbaca dari realitas masih terus terulangnya terorisme dari waktu ke waktu, di samping siapapun tidak  ada menjamin kalau teroris tidak akan memproduksi radikalisme atau pertumpahan darah lagi dimana-mana. Ini dibutkikan, bahwa dalam 5 tahun terakhir di Indonesia, setiap tahunnya terjadi terorisme.

Gerakan deradikalisasi atau anti terorisme memang wajib terus dikampanyekan dan dinyalakan ke seluruh penjuru nusantara supaya setiap elemen bangsa mengetahui dan memahaminya, bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa (exstra ordinary crime), kejahatan melawan kemanusiaan (crime againt humanity), dan musuh utama bangsa ini dan bangsa manapun yang mencintai kedamaian dan keadaban di muka bumi.

Akar masalah utama terorisme terletak pada kaderisasi. Kelompok ini distigma sukses menjalankan organisasi atau menjalankan aksinya di tengah masyarakat berkat keberhasilannya dalam melakukan kaderisasi, termasuk kemungkinan memperbanyak kader dari kalangan perempuan.

Beberapa tahun lalu, kasus penangkapan Dian Yulia Novi di Bekasi dapat dijadikan contohnya. Penangkapan Dian ini sekaligus membuktikan, jejaring terorisme bukan domain kaum lelaki semata, melainkan sudah melibatkan jejaring kaum perempuan secara aktif. Bermula dari seorang tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri yang bersimpati dengan perjuangan Islam di Suriah, Dian mengaku mengalami proses indoktrinasi jihad qital melalui internet, khususnya melalui jejaring Facebook dan situs radikal yang lain, termasuk situs jihad online yang dikelola Aman Abdurrahman.

Tanpa kaderisasi yang terencana atau terprogram dengan baik, terorisme tidak akan mampu menjalankan misinya. Kaderisasi dari kalangan perempuan merupakan  bagian dari "generator" utama yang membuat terorisme bisa menunjukkan akselerasi modus operandinya yang variatif dan diversifikatif.

Kalangan perempuan yang direkrut itu diposisikannya lebih militan, sehingga jika ini berhasil diwujudkan secara terus menerus dan akseleratif, terorisme mempunyai kekuatan "istimewa", terlebih dalam hal kerelaan mati saat beraksi.

Selain itu, kerelaan untuk mati dengan cara meledakkan diri atau menantang ditembak aparat di beberapa kasus terorisme merupakan produk dari "sekolah" yang diantaranya dalam bentuk Lembaga Pendidikan dan korporasi  yang dikonstruksi oleh jaringan terorisme yang sudah mempunyai kemapanan, termasuk dalam membangun "sekolah masifikasi teroris untuk perempuan". Kondisi demikian inilah yang terkadang kurang terbaca dengan cerdas dan obyektif oleh masyarakat. Masyarakat ini terkadang mengesampingkan sisi doktrin eksklusif yang diinternalisasi oleh kelomom fundamentalis, padahal dari tahap demi tahap, mereka dibentuk menjadi kelompok yang dicondongkan "kurang" menyukai kelompok atau pihak lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun