Jumlah pengguna narkoba di Indonesia setiap tahun terus meningkat, sehingga mengancam masa depan generasi muda. Sedangkan Anggapan bahwa pengguna narkoba berasal dari keluarga broken home tidak sepenuhnya benar. Ada temuan, misalnya 70 persen kasus narkoba di Indonesia justru menimpa keluarga berpenghasilan cukup dan tidak tergolong broken home.
Itu menunjukkan, bahwa  di tengah kehidupan bermasyarakat dan berbangsa ini tidak sedikit anak didik yang gagal menjadi "manusia agung" akibat melecehkan dan mengamputasi norma-norma etika (akhlak). Mereka ini sudah didesain dan hendak diproduk oleh lembaga-lembaga pendidikan dengan "cost" yang mahal dan bahkan mencekik, akan tetapi mereka justru tergelincir dalam praktik-praktik pengamputansian atau pengimpotensian doktrin kebenaran. Mereka bukan hanya tidak jujur pada keluarga dan bangsanya, akan tetapi juga membohongi dan "mengharakiri" dirinya sendiri
Dalam ranah tersebut, pendidikan akhirnya tak lebih hanya diperlakukan sebagai obyek yang dipersalahkan masyarakat. Masyarakat menganggap peran pendidikan  hanya sukses mengkomoditi dan mengkapitalismekan proses pembelajaran, sementara peran mentransformasi dan membumikan doktrin agung moral-edukatif gagal dilaksanakannya.  Pendidikan hanya sukses membentuk anak didik sebagai robot atau "zombie", tetapi gagal membentuknya menjadi sosok pejuang militan atau teguh menjaga kesakralan etika  yang pernah ditransformasikan kepadanya.
Sebut misalnya pernah Pemprop Jatim membuat gebrakan dengan mendirikan ratusan  kantin kejujuran. Kantin kejujuran ini didirikan di sekolah dengan misi khusus memberikan kesempatan secara terbuka dan "radikal" kepada anak didik untuk membentuk mentalitasnya sendiri supaya menjadi pribadi yang mengabdi pada kejujuran.
Mengapa pemerintah sampai harus turun tangan dengan melepas sebagian dana untuk mendirikan kantin kejujuran? Bukankah selama ini guru-gurunya sudah mengajarkan dan mentrasformasi ajaran akhlak atau etika, yang salah satunya tentang doktrin kejujuran? Tidak cukupkah proses pembelajaran akhlak atau etika yang disampaikan oleh guru, sehingga pemerintah masih harus "susah-payah" mendirikan kantin kejujuran atau mungkin nantinya "resto-resto keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan"?
Sebenarnya, dari sisi sekolah, barangkali pola pembelajaran yang bersifat progresip, menyelamatkan dan meneguhkan moral anak didik sudah dilakukan dan akan terus dikembangkannya, akan tetapi apa yang dilakukan oleh sekolah tidaklah cukup jika dikaitkan dengan pengaruh destruksi kultural global dan berbagai bentuk pembangkangan moral, serta tontonan "akrobat kemunafikan" yang dimainkan oleh elit-elit berbaju negara.
Yang ditonton oleh anak-anak atau disuguhkan secara vulgar oleh pemain-pemain  "akrobat kemunafikan" merupakan komunitas elit akademik yang seirama dengan pendidikan yang sedang dijalaninya, sehingga komunitas elit itu diperlakukannya sebagai "saudara tua"  yang bisa dikiblatinya.  Ketika yang ditonton ini "saudara tua" yang suka korupsi, dan menyalahgunakan zat-zat adiktif, maka ini laksana pemberian kesempatan mengadopsi dan mengadaptasikannya.
Produk kebijakan bersifat temporer seperti penyiapan komunitas yang menantangnya berbuat jujur pada diri sendiri, masihlah belum cukup, jika elit negara tidak menghidangkan menu edukatif empirik  yang secara konkrit memberikan teladan untuk melakukan perubahan secara radikalistik terhadap akumulasi penyakit yang bersarang di tubuh negara.
Negara memang sudah menganggarkan cukup banyak dana agar dunia pendidikan bisa menjalankan fungsi moral dan intelektualnya dalam membentuk kepribadian anak didik, akan tetapi dana besar hanya akan berakhir dengan kesia-siaan, manakala komunitas yang dijadikan "proyeknya", lebih menjadikan praktik-praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau "akrobat kemunafikan" Â sebagai "lahan" pengkiblatan masa depannya.