Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ilmu dan Sejarah Kantin Kejujuran

21 September 2021   07:25 Diperbarui: 21 September 2021   07:29 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Abdul Wahid

Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku

Jika kita menanyakan darimana sumbernya memperoleh ilmu, tentulah salah satu jawabannya adalah lewat dunia pendidikan. Sementara itu, secara umum, potret bangsa bisa terbaca melalui penyelenggaraan pendidikannya. Kalau bangsa ini maju, niscaya pendidikannya maju. Kalau bangsa ini mundur, berarti pendidikannya tidak maju.

Paradigma kausalitas inilah yang seringkali digunakan menembak atau memperlakukan Indonesia sebagai "tersangka"  dengan dakawaan pendidikannya masih belum beranjak dari lingkaran kemunduran, atau jauh dari misi menyelamatkan dan mencerahkannya.

Ketika di tangah masyarakat masih banyak orang yang buta huruf, drop out, atau belum maksimal partisipasinya dalam mewajibkan dirinya berperan aktif  di dunia pendidikan , serta merta  mereka ini digolongkan sebagai kumpulan manusia tidak maju atau terkotak dalam keterbelakangan, dan bukan golongan modernis dan neo-borjuis, padahal dakwaan demikian jelas hanya berporos pada dalih kemampuan keilmuan.

Mereka  bahkan diposisikan oleh klister utama sebagai "penyakit" sosial dan negara, yang keberadaanya di tengah masyarakat hanya menjadi beban pembangunan atau membuat kondisi karut marut. Mereka disebutnya sebagai sampah yang membuat citra negara ini tidak pantas bersaing dengan masyarakat global.

Tentu saja perlakuan terhadap golongan akar rumput yang tak terdidik itu salah dan dehumanistik, pasalnya mereka tidak bisa berpartisipasi maksimal dalam dunia pendidikan lebih diakibatkan kemiskinan yang menimpanya. Kalau saja mereka mempunyai uang lebih dari cukup untuk menopang kehidupan kesehariannya, barangkali tidak ada diantaranya yang tidak ingin menjadi manusia yang tidak terdidik.

Mereka itu memang tidak secara formal terlibat dalam proses pembelajaran sistemik dan berlangsung lama, akan tetapi, mereka bisa lebih sukses dalam mengayuh "proses pembelajaran" yang menghidupkan nurani, jiwa, dan nalar sehatnya.

Diingatkan Fauzan dalam "Pendidikan Tak Bernama" (2008), bahwa  menyelenggarakan suatu proses pembelajaran jauh lebih mudah daripada mengharapkan hasil memuaskan dari proses pembelajarannya.  Tidak sedikit proses pembelajaran diaplikasikan dengan sebaik-baiknya, akan tetapi hasil yang dicapainya  masih mengecewakan.  

Anggaran pendidikan bahkan terus saja ditingkatkan  setiap tahunnya, akan tetapi anak didik yang menjadi target utama pengalokasian anggaran ini, masih belum bisa diantarkan menjadi anak bangsa yang berguna. Anak-anak (pelajar) yang terjerumus delikuensi dan kriminalisasi klas berat terus "memadati" pertiwi. Anggaran terus saja dialirkan, namun gagal mengairi kegersangan psikologis anak didik yang sudah terseret cukup jauh dalam praktik pengamputasian nilai-nilai moral.

Misalnya, keterlibatan anak-anak dalam kasus penyalahgunaan narkoba masih marak. Tidak sedikit diantaranya ketika ditanya orang tuanya mengenai akar kriminohen perbuatannya ini, mereka  tidak menjawabnya dengan jujur.  Orang tua atau keluarga dibuatnya kaget, apalagi diantaranya dikenal sebagai anak-anak pendiam atau kesehariannya di rumah "tak banyak tingkah". 

Jumlah pengguna narkoba di Indonesia setiap tahun terus meningkat, sehingga mengancam masa depan generasi muda. Sedangkan Anggapan bahwa pengguna narkoba berasal dari keluarga broken home tidak sepenuhnya benar. Ada temuan, misalnya 70 persen kasus narkoba di Indonesia justru menimpa keluarga berpenghasilan cukup dan tidak tergolong broken home.

Itu menunjukkan, bahwa  di tengah kehidupan bermasyarakat dan berbangsa ini tidak sedikit anak didik yang gagal menjadi "manusia agung" akibat melecehkan dan mengamputasi norma-norma etika (akhlak). Mereka ini sudah didesain dan hendak diproduk oleh lembaga-lembaga pendidikan dengan "cost" yang mahal dan bahkan mencekik, akan tetapi mereka justru tergelincir dalam praktik-praktik pengamputansian atau pengimpotensian doktrin kebenaran. Mereka bukan hanya tidak jujur pada keluarga dan bangsanya, akan tetapi juga membohongi dan "mengharakiri" dirinya sendiri

Dalam ranah tersebut, pendidikan akhirnya tak lebih hanya diperlakukan sebagai obyek yang dipersalahkan masyarakat. Masyarakat menganggap peran pendidikan  hanya sukses mengkomoditi dan mengkapitalismekan proses pembelajaran, sementara peran mentransformasi dan membumikan doktrin agung moral-edukatif gagal dilaksanakannya.  Pendidikan hanya sukses membentuk anak didik sebagai robot atau "zombie", tetapi gagal membentuknya menjadi sosok pejuang militan atau teguh menjaga kesakralan etika  yang pernah ditransformasikan kepadanya.

Sebut misalnya pernah Pemprop Jatim membuat gebrakan dengan mendirikan ratusan  kantin kejujuran. Kantin kejujuran ini didirikan di sekolah dengan misi khusus memberikan kesempatan secara terbuka dan "radikal" kepada anak didik untuk membentuk mentalitasnya sendiri supaya menjadi pribadi yang mengabdi pada kejujuran.

Mengapa pemerintah sampai harus turun tangan dengan melepas sebagian dana untuk mendirikan kantin kejujuran? Bukankah selama ini guru-gurunya sudah mengajarkan dan mentrasformasi ajaran akhlak atau etika, yang salah satunya tentang doktrin kejujuran? Tidak cukupkah proses pembelajaran akhlak atau etika yang disampaikan oleh guru, sehingga pemerintah masih harus "susah-payah" mendirikan kantin kejujuran atau mungkin nantinya "resto-resto keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan"?

Sebenarnya, dari sisi sekolah, barangkali pola pembelajaran yang bersifat progresip, menyelamatkan dan meneguhkan moral anak didik sudah dilakukan dan akan terus dikembangkannya, akan tetapi apa yang dilakukan oleh sekolah tidaklah cukup jika dikaitkan dengan pengaruh destruksi kultural global dan berbagai bentuk pembangkangan moral, serta tontonan "akrobat kemunafikan" yang dimainkan oleh elit-elit berbaju negara.

Yang ditonton oleh anak-anak atau disuguhkan secara vulgar oleh pemain-pemain  "akrobat kemunafikan" merupakan komunitas elit akademik yang seirama dengan pendidikan yang sedang dijalaninya, sehingga komunitas elit itu diperlakukannya sebagai "saudara tua"  yang bisa dikiblatinya.  Ketika yang ditonton ini "saudara tua" yang suka korupsi, dan menyalahgunakan zat-zat adiktif, maka ini laksana pemberian kesempatan mengadopsi dan mengadaptasikannya.

Produk kebijakan bersifat temporer seperti penyiapan komunitas yang menantangnya berbuat jujur pada diri sendiri, masihlah belum cukup, jika elit negara tidak menghidangkan menu edukatif empirik  yang secara konkrit memberikan teladan untuk melakukan perubahan secara radikalistik terhadap akumulasi penyakit yang bersarang di tubuh negara.

Negara memang sudah menganggarkan cukup banyak dana agar dunia pendidikan bisa menjalankan fungsi moral dan intelektualnya dalam membentuk kepribadian anak didik, akan tetapi dana besar hanya akan berakhir dengan kesia-siaan, manakala komunitas yang dijadikan "proyeknya", lebih menjadikan praktik-praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau "akrobat kemunafikan"  sebagai "lahan" pengkiblatan masa depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun