Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Politik

Godan Singgasana

18 Mei 2021   16:10 Diperbarui: 18 Mei 2021   16:27 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Foto Penulis

Oleh: Abdul Wahid

Dosen Unisma Malang dan penulis buku

Pemerintah lebih serinng bermain dengan kata-kata atau mencoba menghibur masyarakat dengan berbagai bentuk janji menggiurkan ketika berkaitan dengan nasib orang miskin. 

Ada kritik  Siapapun diantara elemen kekuasaan yang kantong perutnya sarat makanan atau sebatas "keranjang sampah" akibat bergulat dengan kepentingan pribadi, kerabat, dan kelompoknya, sementara kepentingan orang miskin ditelantarkan atau dijadikan obyek komoditinya, maka dirinya, meminjam istilah Imam KH (2007)  "tak ubahnya sebagai raga yang tak makna".

Namanya juga "raga tak bermakna", kehadirannya sebagai khalifah fil-ardl tidak bisa memberikan makna kemanfaatan dan berpraksis pembebebasan, kepemimpinannya tidak melahirkan keteladanan, dan sebaliknya menghadirkan dan mengasbsahkan penyimpangan. 

Bukan penyejahteraan, pemanusiaan, dan pencerahan yang dilakukannya, melainkan aksi-aksi pemiskinan atau pembenaran perilaku kleptokrasi. Soal masyarakat mau mati kelaparan, cadangan pangan habis, kekurangan gizi, tidak bisa sekolah bermutu, kesehatannya memburuk, kejiwaannya labil, atau semakin tak berdaya, ini dianggapnya resiko dinamika sosial.

Sosok itu tak lagi bening pikirannya atau mengidap impotensi (tumpul) untuk menalar dan mengurai problem sosial keumatan. Pikirannya tak bisa cair dan cerdas dalam mengentas ketidakberdayaan  komunitas miskin, atau nalarnya tak cukup obyektif dan rasional untuk menerjemahkan dan memberikan solusi terhadap realitas kemustad'afinan (kesengsaraan sistemik dan komulatif) masyarakat

Potret perilaku pemimpin itu mudah dibaca. Kekuasaan seringkali membuatnya  gagal menjalankan atau menunjukkan tanggungjawabnya dengan benar, adil, jujur, dan memihak kepentingan orang miskin. 

Kekuasaan yang membuatnya bisa duduk nyaman di singgasana bertabur keistimewaan privasi telah menyesatkanya dalam kesibukan berfoya-foya atau mengurus kepentingan perut, hobi baru seperti main golf, mengunjungi "wisata-wisata eksklusif", dan kesenangan-kesenangan yang tak bermanfaat bagi masyarakat.

Kasus itu menunjukkan, bahwa elit kekuasaan kita sedang mengidap krisis amanat kekuasaan atau mengalami "kemiskinan" komitmen menyucikan konstruksi penyelenggaraan kekuasaanya dari berbagai bentuk pola hidup memboroskan dan mengkleptokrasi (membenarkan pola pencurian/penjarahan) sumberdaya publik.

Mereka itu terbukti masih akrab tergelincir dalam pemberhalaan kekuasaan hanya demi memuaskan kepentingan biologis dan pengabsahan status sosialnya. Kalau saja komunitas elit ini tidak sampai tergelincir dalam praktik "pemiskinan" amanat kekuasaannya, tentulah tidak akan banyak kita temukan potret penderitaan atau ketidakberdayaan masyarakat. 

Masyarakat akan bisa menikmati hak kedamaian, tidur nyenyak, hak kesehatan, dan keberlanjutan hidupnya di tangan pejabat yang giat memaksimalkan kinerjanya dalam memberdayakan potensi (kekayaan) daerahnya.

Langkah khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang dikenal sufis ini,  barangkali perlu dicontoh saat Umar melarang anak buahnya hendak memboroskan anggaran belanja negara untuk kepentongan pembangunan benteng dengan kalimat "apalah gunanya membangun benteng kota, kalau kebutuhan masyarakat belum dipenuhi. Bentengilah kehidupan masyarakat dengan keadilan (pemenuhan hak-haknya)"

Belajar dari peringatan tersebut menunjukkan, bahwa menggencarkan pembangunan fisik perkotaan atau memboroskan anggaran demi mendisain gedung-gedung pemerintahan supaya wajahnya menjadi lebih menarik dalam pandangan mata, apalagi sekedar untuk dijadikan investasi kepentingan politik atau menaikkan gengsi elit pejabatnya, jelaslah bukan sebagai model pembangunan dan perilaku elit yang seirama atau sebahasa dengan kepentingan riil masyarakat yang sedang hidup susah, apalagi di saat masyarakat terpuruk akibat kenaikan harga BBM.

 Masyarakat  tidak akan selalu, sering, terus menerus, atau secara rutin (sistemik dan terstruktur) menjadi korban dan  tumbal, kalau saja pemerintah menunjukkan kemauan dan kemampuannya  dalam melakukan iqra terhadap derita empirik masyarakat. 

Selama pemerintah belum juga melakukan iqra, niscaya sulit problem riil masyarakat berhasil diatasinya, termasuk mengakomodsi macam derita (kesulitan) orang miskin. 

Memberi solusi tepat sararan kepada masyarakat yang terhimpit masalah penderitaan dan ketidakberdayaan haruslah diawali dengan pembacaan obyek secara adil, egalitarian, dan berkeadaban.

Dari pembacaan obyek sosial tersebut, kemudian idealnya dilanjutkan dengan menyusun rencana aksi dan mewujudkan gerakan riil yang berbasiskan pemihakan kepentingan masyarakat.  

Gerakan riil demikian masih belum membumi di lingkungan aparat, pasalnya mereka ini masih lebih menyukai pola-pola formalisasi kekuasaan, semisal kalaupun terjun ke masyarakat, jalur protokoler lebih dikedepankan.

Langkah tersebut hanya bisa dilakukan oleh elemen pejabat yang ambisi atau "perutnya" benar-benar tidak kekenyangan berbagai bentuk gaya hidup dan target-target bercorak pengabsahan status sosial-politik atau perjalanan karir strukturalnya tidak diabdikan demi  menghamba pada pola-pola permisifisme seperti memiskinkan amanat membebaskan orang miskin atau dimenangkannya "kedurjanaan" dalam mengelola komunitas yang kehilangan keberdayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun