Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencegah Adaptasi Menjadi Kriminalis

4 Juni 2020   08:08 Diperbarui: 4 Juni 2020   08:12 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : mewslocker.com

Oleh: abdul Wahid

"Accipere quam facere praestat injuriam" , atau kata  mutiara itu bermakna "lebih baik menerima dampak kesalahan orang lain apa adanya daripada sendiri melakukan kesalahan itu".

Kata mutiara itu menunjukkan, bahwa seseorang dalam hidup ini akan menjadi manusia yang baik jika aktifitas hidupnya tidak memberikan akibat atau dampak buruk bagi manusia lainnya. Orang lain harus benar-benar dijadikannya sebagai "proyek utama" dalam pengabdian hidupnya.

Di tengah masyarakat, ada seseorang yang tidak diduga menjadi pelaku kejahatan, ternyata ia kemudian terpikat sebagai pelaku utama atau aktornya dalam berbagai bentuk kejahatan yang serius dan bahkan "mengerikan".

Dugaan yang keliru baca atau asumsi subyektif seringkali berkaitan dengan masalah profesi, jabatan, kedudukan, atau tingginya tingkat pendidikan dengan pola dan akar kriminalitas. Katakanlah semula seseorang atau sekelompok orang dianggap tidak akan mungkin melakukan kejahatan, tetapi ternyata di kemudian hari, tiba-tiba diketahui mereka ini terlibat dalam kejahatan yang serius.

Kondisi seseorang yang berada dalam kesulitan atau dihadapkan pada kepentingan tertentu, sehingga ketika seseorang yang semula itu orang baik-baik, tetapi karena kehidupan sehari-harinya dalam kesulitan ekonomi atau dihadapkan pada problem kepentingan yang sulit diatasinya, maka  orang dimaksud dapat saja terjerumus dalam perbuatan yang melanggar hukum, lebih-lebih jika usaha-usaha lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan jalan yang benar dan tidak melanggar hukum sudah mengalami kesulitan atau beberapa kali dihadapkan pada kegagalan.

Sosiolog kenamaan Soerjono Soekanto mengutip pendapat pakar ilmu sosial dan humaniora A. Laccasagne yang berpendapat, bahwa yang terpenting adalah keadaan sosial lingkungan kita, karena lingkungan merupakan suatu wadah pembenihan untuk kejahatan dan kuman adalah penjahatnya.

Dalma ranah itu jelas, bahwa ekologi sosial dapat menjadi "rumah" atau "sekolah" yang mampu membentuk  seseorang beradaptasi menjadi kriminalis. Dalam ekologi sosial terdapat ragam pengaruh yang bisa memberikan jalan, pilihan, pengembangan atau penguatan terjadinya dan  maraknya kriminalitas.

G. Tarde bahkan menyatakan bahwa kejahatan bukanlah gejala antropologik, melainkan gejala sosiologik dimana semua perbuatan penting manusia dilakukan karena proses peniruan atau imitasi. Ada "sumber" yang membuat seseorang menggunakannya sebagai rujukan, baik dalam bentuk ide, penyikapan maupun perbuatan. Di ranah "sumber" inilah idealisasinya pencegahan harus banyak atau sering dilakukan.

Pakar lain bernama R. Owen juga mengataksan, bahwa lingkungan yang tidak baik membuat kelakuan seseorang menjadi jahat. Andilnya lingkungan ynag tidak baik terhadap kriminalitas  merupakan hal yang tidak bisa ditolak oleh siapapun, pasalnya di lingkungan demikian, ada berbagai subyek yang saling mempengaruhi dan berupaya memenangkan "doktrinnya" supaya orang atau pihak lain mematuhinya.

Seseorang dapat melakukan kejahatan karena pengaruh keadaan yang dipandang buruk, tidak menguntungkan dirinya, sehingga cara-cara kriminal terpaksa dilakukannya, atau sehubungan dengan pengaruh kesulitan ekonomi yang menimpanya, maka cara yang melanggar hukum harus dilakukannya, karena cara-cara yang lain tidak ada lagi.

Bisa pula disebabkan, bahwa seseorang berbuat jahat karena ingin kaya dengan cara yang gampang, atau kebutuhan ekonominya jauh lebih banyak dibandingkan kebutuhan pokoknya, sehingga menuntut dan memaksanya untuk memenuhi dengan cara yang salah, jahat, atau melanggar norma-norma agama dan negara.

Itu mengajarkan, bahwa kriminalitas atau kejahatan bukanlah merupakan peristiwa hereditir (bawaan sejak lahir) atau bukan merupakan warisan biologis. Tingkah laku kriminal itu bisa dilakukan oleh siapapun juga, baik awanita maupun pria, anak, dewasa ataupun lanjut umur. Tindak kejahatan bisa dilakukan secara sadar, yaitu difikirkan, direncanakan dan diarahkan pada suatu maksud tertentu dengan kesengajaan. Subyek yang melakukan demikian ini tentulah  melaluinya keterpengaruhan yang serius atau tidak dari seseorang atau sejumlah orang.

Lebih-lebih jika tindak kejahatan itu bukan dilakukan oleh perorangan atau secara individual seperti yang secara umum terjadi dalam kejahatan yang berhubungan dengan soal uang besar, tetapi dilakukan secara terorganisir, maka secara general tindak kejahatan yang terjadi dapat berakibat fatal bagi kehidupan seseorang yang menjadi korbannya atau kehidupan masyarakat.

Tindak kejahatan semacam itu biasanya didahului oleh suatu perencanaan yang matang, seperti bagaimana harus menghilangkan jejak dan mendapatkan harta yang diinginkan. Semakin "baik" perencanaan yang dilakukannya, maka keniscayaan korbannya sangat berat atau serius bisa terjadi. Disinilah wujud adaptasi kriminalitasnya  lebih menang dan "hegemonik".

Kesungguhan atau kinerja yang bisa membuahkan hasil dalam pencegahan atau penanggulangan jenis kejahatan apapun, sangat ditentukan oleh kemampuan aparat dalam membaca alur perkembangan ekologi sosial yang buruk (defek). Kalau bacaan ini ditinggalkan, maka alamat yang menjadi "digdaya" adalah para kriminalis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun