Mohon tunggu...
Abdul Salam
Abdul Salam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik UGM

suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Netizen Power dalam Menentukan Arah Kebijakan Publik pada Era Digital di Indonesia

9 Juli 2023   23:30 Diperbarui: 10 Juli 2023   00:30 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lembaga survey asal Inggris We Are Social melaporkan hasil survey terbarunya pada tahun 2023 dimana pada survey tersebut menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 212,9 juta jiwa. Jumlah ini mengalami peningkatan signifikan jika di bandingkan dengan tahun sebelumnya sekitar 3,85 %. Jumlah ini berarti sekitar 77% populasi Indonesia telah menggunakan internet. Laporan tersebut sekaligus mengukuhkan Indonesia pada posisi ke 4 sebagai negara dengan populasi pengguna internet terbanyak di dunia setelah China pada posisi pertama, India posisi kedua dan Amerika Serikat pada posisi ketiga (DataIndonesia.id, 2022).

Laporan lain dari We Are Social dengan tajuk "Digital 2021: The Latest Insights Inti The State of Digital" melaporkan bahwa netizen indonesia rata rata menghabiskan waktu untuk berselancar di dunia internet sebanyak 8 jam 52 menit setiap harinya. Laporan ini menempatkan Indonesia pada urutan 10 besar negara paling kecanduan menggunakan internet di dunia (We Are Social, 2021). 

Selain menghabiskan waktu untuk berselancar di internet, masyarakat Indonesia juga gemar mengakses media sosial. Ada 6 media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat. WhatsApp (WA) menjadi aplikasi paling banyak digunakan oleh masyarakat dengan presentase mencapai 92,1 % disusul Instagram dengan 86,5 %, Facebook 83,8 %, Tiktok 70,8 %, Telegram 64,3 dan Twitter 60,2 % (GoodStats, 2023).

GoodStats, 2023
GoodStats, 2023

Pengguna internet dalam era digital dikenal dengan sebutan "netizen". Netizen terdiri dari dua kata net yang berarti internet dan citizen yang berarti warga maka jika digabungkan netizen adalah warga internet. Istilah ini menjadi popular setelah berkembang pesatnya dunia teknologi informasi terutama media sosial. Media sosial digunakan oleh semua kalangan mulai dari generasi milenal bahkan orang tua masih menggunakan media sosial sebagai media komunikasi dan media ekspresi. Media sosial bukan hanya sebatas hiburan dan alat komunikasi semata namun bertranformasi menjadi ruang perjauangan untuk membawa isu-isu tertentu agar muncul ke permukaan sehingga banyak diperbincangkan atau dikenal dengan istilah "viral". Hal ini tidak terlepas dari pengaruh media dalam percatutan politik. Media sosial menjadi platform bagi netizen untuk berekspresi secara lebih bebas dibanding dengan secara konvensional yang banyak pembungakaman dan pemberangusan. negara di dunia manapun termasuk Indonesia tidak mampu untuk membendung dan memebatasi netizen dalam berkepresi di dunia massa (Juned et al., 2015). Media sosial bertransformasi menjadi ruang publik baru (the new public sphere) dimana orang mendapatkan ruang untuk mengartikulasikan dan mendiskuiskan pendapat mereka secara bebas (Habermas et al., 1974).

Jumlah netizen Indonesia yang sangat besar tersebut membuat netizen memiliki kekuatan yang sangat dahsyat untuk menentukan arah kebijakan bahkan tidak jarang mengguncang sebuah negara. Sebut saja beberapa kasus terkahir yang tidak bisa dilepasakan dari kontribusi netizen. Pertama kasus duren tiga yang menjadi tempat terbunuhnya Brigader Joshua Hutabarat. Dengan kontribusi netizen yang selalu membicarakan kasus tersebut di media massa yang kemudian mampu mengungkap pelaku sebanrnya. bahkan netizen mampu mengorek-ngorek insitusi besar sekelas polri hingga akhirnya POLRI mengambil kebijakan untuk mereformasi institusi secara besar-besaran. Kedua kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy terhadap David Ozora. dengan bantuan the power of netizen (kekuatan netizen) kasus ini bukan hanya menyeret pelaku tapi menyeret orang tua bahkan tempat kerja orang tua pelaku yaitu kementrian keuangan (kemenkeu). Institusi sekelas kementrian pun tidak luput dari goncangan netizen. Netizen juga mampu mengungkap gaya hidup flexing pejabat kemenkeu khsusunya Dirjen Pajak hingga mencuat isu korupsi 400 T. hingga pada akhirnya Sri Mulyani mengambil kebijakan untuk mereformasi institusi secara besar besaran dengan mencopot pegawai bermasalah dan memutuskan untuk melakukan transparansi di dalam kemenkeu. Terakhir kasus Bima yang mengkritik Lampung. Kritikan ini menjadi perbincangan hangat netizen bahkan sampai viral. Hingga akhirnya presiden Jokowi langsung turun tangan menangani masalah tersebut dan mengambil kebijakan untuk mengambil alih perbaikan jalan yang rusak dari pemerintah daerah lampung (Tempo, 2023).

Beberapa kasus di atas menjadi contoh kecil bagaimana cuitan cuitan dari netizen menentukan arah kebijakan Indonesia kedepannya. Kebijakan di era digital harus mampu untuk melihat dan mengakomodir kepentingan netizen karena suara netizen di era digital adalah suara tuhan. Era digital saat ini, istilah demokrasi bertransformasi menjadi klikokrasi. Klikokrasi adalah istilah yang merujuk pada kekuasaan berada ditangan orang yang meng-klik dalam hal ini orang yang menggunakann internet atau netizen.  Netizen mampu untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Kicauan yang dihasilkan oleh netizen yang membentuk noise sangat borpotensi besar berubah menjadi voice (aspirasi) yang kemudian akan berubah menjadi policy (kebijakan). suara netizen menjadi pertimbangan dan perbincangan di ranah pemerintah sehingga arah kebijakan pun bisa berubah. Ada kecenderungan bahwa pemerintah cepat merespon isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan oleh netizen. Kecepatan pemerintah dalam merespon isu yang sedang viral dan diperbincangkan disebut dengan agile. Agile governance adalah kemampuan pmerintah untuk memberikan respon secara cepat dan gesit dalam memenuhi tuntutan dan permintaan masyarakat serta cepat beradaptasi terhadap perubahan yang sangat dinamis dan tidak terprediksi.

Netizen menggunakan media massa bukan hanya untuk alat berkomunikasi dan mendapatkan informasi saja tapi juga menjadi alat untuk mengekspresikan cara pandang terhadap isu tertentu (Cheng, 2009).  Selain itu, Netizen juga menggunakan media massa sebagai Digital activism. Digital activism atau dikenal juga dengan cyberactivism adalah bentuk perjuangan yang melakukan mobilisasi massa dengan menggunakan platform internet dan media digital untuk melakukan aksi politik yang mempengaruhi gerakan sosial (social movement) (George & Leidner, 2019). Gerakan ini dilakukan untuk menekan isu-isu tertentu baik itu isu politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan agama. aktivisme digital merupakan aktivitas protes yang dilakukan secara virtual untuk memperkuat demonstrasi offline. Era digital saat ini protes secara virtual yang dilakukan oleh netizen sangat berdampak besar dari pada demonstran turun ke jalan. Bersuara secara online menjadi pilihan yang lebih baik jika dibandingkan dengan bersuara scara konvensial dengan melakukan aksi demosntrasi yang memiliki potensi gesekan fisik yang bisa berbahaya. Digital activism menjadi sarana pergerakan dari akar rumput (Grassroot movement) yang kuat untuk melakukan mobilitasi politik dari bawah serta cara-cara baru untuk mendapatkan atensi dari pemerintah.

Namun sangat disayangkan tingginya kuantitas netizen berbanding terbalik dengan rendahnya kualitas netizen. Kualitas netizen bisa dilihat dari tingi atau rendahnya literasi digital, semakin tinggi literasi digital netizen semakin tinggi kualitas suara yang dihasilkan begitupun sebaliknya semakin rendah literasi digital netizen semakin rendah pula kualitas suara yang dihasilkan. Data menunjukan bahwa literasi digital Indonesia hanya 62 % sedangkan negara negara ASEAN rata-rata 70 % bahkan Korea tingkat lietrasi nya mencapai 97 %. Data tersebut menunjukan bahwa literasi digital Indonesia paling rendah diantara negara negara ASEAN (CNBC, 2023). Salah satu bukti rendahnya literasi digital netizen Indonesia adalah kurang nya etika dalam berkomentar. Laporan dari Microsoft dengan tajuk "Digital Civility Index (DCI)" yang menempatkan netizen Indonesia sebagai netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara adalah buktinya. Selain tidak sopan, netizen Indonesia juga disiplin verifikasi nya rendah dan daya kritis yang rendah. Masih banyak netizen yang mudah percaya dengan berita berita hoax dan belum jelas sumber nya. untuk itu agar suara-suara netizen menjadi suara yang berkualitas dan mendapatkan atensi yang tinggi dari pemerintah serta mampu bertransformasi menjadi sebuah keijakan maka perlu adanya peningkatan literasi digital yang massive baik dilikukan oleh orang perorang, komunitas atau pemerintah itu sendiri.

References 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun