Mohon tunggu...
W. Luthfi Abdullah
W. Luthfi Abdullah Mohon Tunggu... Pendidik

Seputar Pendidikan Islam, Pendidikan Karakter, dan Studi Islam secara umum. Menebar manfaat dari sebuah "Tulisan"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Khalifah Yang Hilang DI Tengah Kesenjangan

8 September 2025   11:40 Diperbarui: 8 September 2025   11:52 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Diskursus tentang khalifah kerap kali menyempit hanya pada soal politik atau pergantian kekuasaan. Padahal, jika kita menelusuri akar kata khalafa dalam al-Munjid fi al-Lughah al-'Arabiyyah, kita akan menemukan delapan dimensi makna yang sangat kaya dan relevan bagi kehidupan kita hari ini. Dimensi itu mencakup: manusia sebagai wakil Allah (qama maqamahu), penerus generasi sebelumnya (baqiya ba'dahu), yang tertinggal dari kebaikan (ta'akhkhara), yang hidup untuk generasi di belakang (wara'), yang menyimpang dari janji (taghayyara), yang lalai dan bodoh (hamiqa), yang tidak menuntaskan amanah (lam yutmimhu), hingga yang hidup dalam perbedaan (ikhtalafa). Delapan makna inilah yang menjadi fondasi moral sekaligus cermin untuk menilai bagaimana manusia mengelola bumi, kekuasaan, dan amanah sosial yang dibebankan kepadanya.

Namun menariknya, dalam al-Munjid sendiri tidak kurang dari delapan belas arti dasar dari akar kata khalafa. Artinya, konsep khalifah sesungguhnya lebih luas dari sekadar jabatan politik. Ia adalah gambaran utuh manusia dengan segala potensi, kelemahan, dan tanggung jawabnya. Sayangnya, makna yang luas ini justru sering dipersempit hingga membuat kita lupa bahwa menjadi khalifah adalah amanah yang menuntut integritas, keadilan, dan keberpihakan kepada sesama.

Al-Qur'an menegaskan, "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi..." (QS. Al-Baqarah: 30). Ayat ini sering dikutip untuk meneguhkan martabat manusia. Namun jika dimaknai sejalan dengan ragam makna khalafa dalam bahasa Arab, maka amanah itu bukan sekadar kehormatan, tetapi juga peringatan: manusia bisa menjadi wakil Allah yang mulia, tapi juga bisa terjerumus sebagai pengkhianat yang meninggalkan janji.

Jika kita tarik makna-makna tersebut ke realitas Indonesia hari ini, kita akan melihat betapa jauhnya sebagian elite dari semangat kekhalifahan. Rakyat menjerit karena pajak yang terus naik, sementara di sisi lain anggota DPR bisa menikmati gaji dan tunjangan yang jika dihitung rata-rata mencapai sekitar Rp3 juta per hari. Berbagai laporan publik telah menyoroti fakta ini, dan wajar jika ia menimbulkan rasa ketidakadilan di tengah masyarakat. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan simbol kesenjangan. Di tengah situasi ekonomi yang berat, ketimpangan seperti ini menjadi bara yang mudah menyulut kemarahan sosial.

Demonstrasi pun meletus di berbagai daerah. Dari Jakarta hingga kota-kota besar lainnya, mahasiswa, buruh, hingga ojek online turun ke jalan menuntut keadilan. Ironisnya, bukannya mendapat ruang dialog, aspirasi mereka kerap berujung bentrok. Salah satu kisah tragis bahkan datang dari seorang pengemudi ojek online yang tewas terlindas mobil aparat. Peristiwa semacam ini menjadi potret buram: khalifah sebagai pemimpin seharusnya hadir untuk melindungi rakyat, bukan membuat mereka kehilangan nyawa di jalanan.

Dalam konteks ini, delapan makna khalifah dari al-Munjid seakan berbicara langsung kepada kita. Ada pemimpin yang memang qma maqmahu menjalankan amanah seperti yang seharusnya. Tetapi ada juga yang justru lam yutmimhu gagal menuntaskan amanah. Sebagian bahkan amiqa bertindak bodoh, abai terhadap penderitaan rakyat. Dan yang paling menyedihkan, ada yang taghayyara berubah haluan, menyimpang dari janji-janji yang dulu mereka gaungkan saat kampanye.

Situasi ini membuat kita bertanya: masihkah makna khalifah hidup di tengah sistem politik kita? Jika khalifah adalah mereka yang ikhtalafa hidup dalam perbedaan maka perbedaan itu seharusnya diolah menjadi kekuatan untuk mencari solusi bersama, bukan alasan untuk memperuncing konflik antara rakyat dan penguasa. Jika khalifah adalah mereka yang baqiya ba'dahu penerus generasi sebelumnya maka warisan yang ditinggalkan seharusnya bukan utang, krisis, dan luka sosial, melainkan teladan kepemimpinan yang jujur.

Kita bisa belajar dari sejarah Islam, ketika Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali memaknai kepemimpinan bukan sebagai privilege, tetapi beban amanah. Mereka paham benar bahwa khalifah berarti pengganti yang harus bertanggung jawab di hadapan Allah, bukan sekadar mengisi kursi kekuasaan. Maka Umar bin Khattab, misalnya, sampai berkata bahwa andai ada seekor keledai yang terperosok di jalan Irak, ia takut Allah akan meminta pertanggungjawaban darinya. Perbandingan ini menjadi cermin bagi para pemimpin hari ini: jika untuk seekor hewan saja Umar merasa bertanggung jawab, maka bagaimana dengan rakyat yang menderita akibat kebijakan yang tidak adil?

Di sinilah relevansi pembacaan bahasa dan realitas bersatu. Bahasa Arab melalui al-Munjid mengingatkan kita bahwa khalafa bisa bermakna mulia, bisa juga bermakna hina. Realitas politik kita hari ini memperlihatkan pilihan yang kelam: lebih banyak pemimpin yang meninggalkan amanah daripada yang setia menunaikannya. Lebih banyak kebijakan yang menambah beban rakyat daripada yang meringankan.

Tentu kita tidak bisa berhenti pada keluhan. Diskursus tentang khalifah harus kembali ke akar: manusia sebagai wakil Allah di bumi. Artinya, setiap dari kita, baik pejabat maupun rakyat biasa, punya tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan, menegakkan keadilan, dan memperjuangkan kemanusiaan. Seorang tukang ojol yang menafkahi keluarga dengan jujur pun sesungguhnya sedang menjalankan tugas kekhalifahan, mungkin lebih mulia dari pejabat yang mengkhianati sumpah jabatan.

Di sinilah pentingnya kesadaran kolektif. Menjadi khalifah bukan hanya soal jabatan, melainkan soal kejujuran, amanah, dan keberpihakan pada kemanusiaan. Jika nilai ini dihidupkan kembali, bangsa tidak akan kehilangan arah, dan politik tidak lagi menjadi sumber luka, tetapi jalan menuju keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun