Mohon tunggu...
Abdul Khalid M
Abdul Khalid M Mohon Tunggu... Politisi - Sang Sufi

Hidup harus dimulai dengan doa serta diakhiri dengan rasa syukur

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kegagalan Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia

1 Juli 2021   23:59 Diperbarui: 2 Juli 2021   00:07 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kemunculan virus SARS-CoV-2 pada bulan Desember 2019 di wilayah Wuhan, Tiongkok telah memberikan dampak tersendiri bagi peradaban masyarakat global. Hal itu kemudian mendorong Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan virus tersebut sebagai pandemi global pada tanggal 11 Maret 2020 setelah berhasil menyebar ke 114 negara (Sebayang, 2020). 

Adapun, virus tersebut kemudian sempat dinamai sementara oleh WHO sebagai penyakit pernapasan akut parah 2019-nCov. Hingga akhirnya, WHO seperti yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus pada konferensi pers di Jenewa, Swiss kemudian menggantinya dengan istilah baru, yakni Covid-19 (Hatta, 2020). 

Dalam hal ini, istilah "co" sendiri merujuk pada nama Corona, "vi" berarti virus, "d" adalah disease (penyakit) dan 2019 merupakan tahun di saat virus tersebut mulai muncul untuk yang pertama kalinya (Utomo, 2020). Kemudian, jika merujuk pada tren perkembangannya saat ini, dapat dilihat bahwa pandemi Covid-19 tersebut justru kian mengalami peningkatan yang relatif signifikan.

Hal ini setidaknya merujuk pada total keseluruhan kasus positif Covid-19 di dunia per 14 Oktober 2020 yang mencapai hingga 38 juta kasus dimana sebanyak 1.089.563 merupakan kasus kematian akibat Covid-19, sedangkan 28.814.634 adalah kasus yang dinyatakan sembuh (Fatia, 2020). 

Selain itu, hal tersebut juga diperparah manakala pandemi Covid-19 sudah berhasil menyebar hingga ke 214 negara di seluruh dunia dan masih tingginya akumulasi jumlah kasus positif di sejumlah negara khususnya Indonesia.

Adapun jika merujuk pada konteks awal kemunculan pandemi Covid-19 di Indonesia, hal tersebut setidaknya mulai mencuat ke hadapan publik setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan secara resmi kasus pertama Covid-19 yang berhasil menginfeksi dua orang Warga Negara Indonesia (WNI) pada tanggal 2 Maret 2020 (Ihsanuddin & Kuwado, 2020). 


Adapun, pasca pengumuman kasus pertama positif Covid-19 tersebut, pemerintah Indonesia kemudian kembali mengumumkan kasus positif lainnya yang kembali bermunculan. 

Hingga dalam perkembangannya, pemerintah akhirnya menempuh sejumlah kebijakan sebagai langkah penanganan terhadap penyebaran pandemi Covid-19 yang kian hari makin meningkat, seperti saat pemerintah mewacanakan untuk menetapkan darurat sipil dalam menangani pandemi Covid-19 hingga seruan untuk melakukan pembatasan sosial dan fisik (social and physical distancing). 

Meskipun pada awalnya, sempat muncul diskursus mengenai opsi kebijakan yang akan diambil dalam melakukan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketimbang lockdown. 

Adapun, kebijakan itu kemudian diterapkan di sejumlah wilayah yang termasuk dalam zona merah penyebaran Covid-19 yang sebagaimana ditetapkan oleh Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, seperti DKI Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, Surabaya dan wilayah-wilayah terdampak lainnya. 

Bahkan di samping itu, pemerintah kemudian juga menyiapkan sejumlah regulasi sebagai landasan hukum bagi upaya-upaya penanganan terhadap penyebaran pandemi Covid-19 di Indonesia, seperti Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020, hingga Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020.

Lebih lanjut, kemunculan pandemi Covid-19 pada konteks global secara garis besar dalam realitasnya cenderung disinyalir telah mendorong kebangkitan pemerintahan otoritarian di sejumlah negara. 

Hal ini setidaknya merujuk pada kesimpulan dari sebuah surat yang digalang oleh Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) di Stockholm, Swedia yang melibatkan sebanyak 500 tokoh masyarakat bahwa kemunculan pandemi Covid-19 telah menyuburkan praktik otoriter di sejumlah negara (Ramadhan, 2020). 

Adapun, hal tersebut didasarkan pada reaksi sejumlah negara di Eropa, Asia, Amerika, hingga Afrika yang kemudian melakukan pembatasan terhadap hak-hak masyarakat sipil, seperti hak untuk berpergian, berkumpul dan menyampaikan pendapatnya (DW.com, 2020). 

Adanya pembatasan tersebut jika merujuk pada perspektif yang dikemukakan oleh Yuval Noah Harari justru semakin membuka potensi akan menguatnya praktik otoritarianisme manakala kemudian turut diiringi dengan kemajuan teknologi (Harari dkk, 2020). 

Alhasil, kondisi demikian yang kemudian juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi 500 tokoh yang tergabung dalam surat terbuka tersebut karena dianggap akan berpotensi memunculkan praktik otoritarianisme dalam masyarakatnya. 

Apalagi, kekhawatiran tersebut makin kentara di saat pemerintah di sejumlah negara yang dipilih secara demokratis kemudian mengaktifkan kekuasaan darurat yang cenderung abai terhadap hak asasi manusia karena berupaya untuk meningkatkan pengawasan terhadap masyarakat secara sepihak (IDEA, 2020). Hal tersebut setidaknya dapat dilihat pada realitas yang berlaku di lebih dari 80 negara yang tercatat telah memberlakukan status darurat nasional selama mewabahnya pandemi Covid-19 sebagaimana diungkapkan oleh International Center for Non-Profit Law.     

Dalam realitasnya, kemunculan pandemi Covid-19 dalam konteks global cenderung telah mendorong munculnya wacana tatanan otoritarianisme dimana China kemudian dianggap sebagai pihak utama yang memiliki andil besar terhadapnya (Chang, 2020). 

Adanya kecenderungan otoritarianisme selama mewabahnya pandemi Covid-19 tersebut setidaknya ditandai dengan adanya dukungan terhadap konstitusi yang bersifat otokratis serta operasi otoritas yang sewenang-wenang. Hal itu dikarenakan kecenderungan otoritarianisme di tengah konteks pandemi Covid-19 kemudian dapat diidentifikasi melalui beberapa hal berikut. 

Pertama, merujuk pada kecenderungan dimana otoritarianisme lebih mengutamakan stabilitas ketimbang kebebasan individu. Pasalnya, untuk dapat mewujudkan stabilitas pada tatanan politik maka diperlukan sebuah jaminan terhadap keamanan publik. 

Hal itu dikarenakan otoritarianisme memiliki keyakinan bahwa stabilitas dalam tatanan politik merupakan sebuah elemen krusial bagi keamanan individu maupun kolektif terutama dalam kaitannya dengan keadaan darurat (Sonnen & Zangl, 2015). Selain itu, otoritarianisme juga memiliki keyakinan bahwa kegagalan otoritas politik akan dianggap sebagai akar dari kondisi anarkis dan kemudian akan menjadi ancaman serius bagi perdamaian dan keamanan (Hobbes, 2008). 

Kedua, terkait dengan kecenderungan dimana otoritarianisme mendukung dilakukannya sentralisasi atau konsentrasi kekuasaan pada otoritas Eksekutif dengan tujuan untuk menjaga stabilitas dalam tatanan politik, sehingga diharapkan juga dapat meningkatkan keamanan serta memastikan terwujudnya stabilitas dalam kehidupan masyarakat. Hal itu dikarenakan otoritarianisme menganggap bahwa tanggung jawab untuk mewujudkan stabilitas terletak pada otoritas pemerintah yang terpusat, sehingga pertukaran antara keamanan dan kebebasan individu harus dapat diseimbangkan kembali demi menjaga stabilitas yang ada (Cooley, 2015, hlm. 51).

Selain itu, kecenderungan ketiga lebih ditandai dengan adanya dorongan otoritarianisme terhadap pihak berwenang untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan ketimbang yang hal yang sifatnya legal demi memastikan terciptanya stabilitas (Sonnen & Zangl, 2015, hlm. 6). 

Untuk itu, otoritarianisme kemudian mendorong dilaksanakannya kewenangan secara otokratis yang kemudian berpotensi menjadi kesewenang-wenangan dimana hal tersebut setidaknya memiliki dua ciri yang mendasar. 

Pertama, terkait dengan hubungan kewenangan yang disusun secara vertikal dengan beberapa bentuk kewenangan yang lebih tinggi "yang tindakannya juga mengikat secara hukum terhadap konstituen". 

Kedua, merujuk pada otoritas politik yang tidak selalu dibentuk atau dibatasi oleh hukum, dimana hal tersebut menjadi indikasi bahwa pemegang kekuasaan pada dasarnya dapat diberikan keleluasaan yang tidak terbatas untuk memenuhi kebutuhan dalam menjaga stabilitas khususnya pada saat-saat yang bersifat darurat (Sonnen & Zangl, 2015, hlm. 4). 

Hal itu kemudian diwujudkan dengan beberapa cara, seperti memperluas otoritas Eksekutif, meningkatkan area kerahasiaan dan hak istimewa negara serta memperluas pengawasan domestik (Cooley, 2015). 

Cara tersebut yang dianggap oleh Kay (1998) lebih didasarkan pada beberapa tujuan kolektif dan merupakan keterlibatan kerja sama yang diatur secara rasional karena merujuk pada karakter represif dari rezim totaliter. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa otoritarianisme merupakan sebuah kecenderungan yang pro-otoritas dan komunitas, namun melawan gangguan dan kekacauan (Zelikow, 2017). 

Pasalnya, otoritarianisme sendiri lebih menghendaki agar dibentuknya otoritas otoriter melalui tindakan pemberdayaan diri secara otokratis yang kemudian tidak harus dilaksanakan sesuai dengan batasan hukum mengenai pelestarian ketertiban yang stabil dan damai ketimbang memiliki konstitusi yang demokratis dan dibatasi oleh supremasi hukum (Sonnen & Zangl, 2015). 

Kondisi ini yang sebagaimana diungkapkan oleh Harari (2020) bahwa pandemi Covid-19 telah memaksa dunia untuk berdiri di persimpangan jalan untuk memilih pilihan "pengawasan totaliter" atau "pemberdayaan warga negara" serta antara "isolasi nasionalis" dan "solidaritas global".  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun