Mohon tunggu...
Abdul Azizan
Abdul Azizan Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa

hobi melukis kaligrafi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Nasional dan Penguasa Lokal di Tana Toraja karangan Diks Pasande

29 Oktober 2022   15:51 Diperbarui: 29 Oktober 2022   15:54 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada abad ke-17 belanda ingin tetap membawa dampak  bagi masyarakat Toraja yang berjangka panjang pada struktur Tana Toraja hingga pada pertaruhan abad kedua abad ke-19. keturunan hamba atau kaunan  (sebutan ata bagi orang bugis) dalam masyarakat Toraja merupakan sebagai kasta terendah di Masyarakat, sampai saat ini belum bisa dihapuskan disebabkan adanya integral dari aluk merupaka pandangan orang Toraja bagian dari tatanan dan pola hidup yang telah di tetapkan oleh  Puang Matua (yang Ilahi). 

Sehingga, hal ini bagi masyarakat Toraja melihat sebuah perhambaan dengan dilihat dari aspek politik-ekonomi selain itu juga dapat dipahami sebagai suatu mandat ilahi. Yang akan dibahas lebih lanjut, mengenai tatanan sosial dari adanya konflik horizontal hingga revolusi para petani pada tahun 1950-an karena adanya dampak dari luar wilayah Toraja. 

Pada masa Hindia Belanda, Tana Toraja kembali dikaitkan dengan luwu karena tergabung dalam satu afdeling Luwu.  Dimana afdeling Luwu terdiri dari onderafdeling (bagian) Masamba, Palopo, Rantepao, Malili, dan Mekongga. dengan bersamaan kedatangan Belanda di Tana Toraja pada awal abad ke-20, masuk pula kitab Injil yang dibawa olej Indische Protestantsche kerk yang kemudia dikenal sebagai Gereja Protestan Indonesia (GPI). 

Masuknya kitab Injil ke Tana Toraja merupakan babak baru bagi peradaban dan kehidupan orang Toraja. Menjadikan masyarakat Toraja mengalami berbagai perubahan. Perubagan pertama yang dibawa pendidikan formal yang dikembangkan GZB, adalah pemakaian bahasa pemerintah Hindia Belanda dan para zendeling di tana Toraja menggunakan bahasa Bugis agar bisa berinteraksi dengan para pemuka masyarakat Toraja yang melek akan bahasa Bugis. 

 Bahasa melayu juga menjadi bagian yang integral bagi masyarakat Toraja dengan dunia luar. Selain bahasa yang dipakai masyarakat Toraja sebagai identitas baru, sebagaimana dengan keadaan masyarakat Toraja yang masih terkepung oleh Hindia Belanda dan tentunya ingin untuk mengubah keadaan tersebut.  

1. Otonomi dan Persaingan (1946-1949)

Pada tanggal 15 Oktober 1946, Tana Toraja yang meliputi wilayah Rantepao-Makale telah memiliki badan pemerintahan. Kemudian pada tanggal 16 September 1946. Ada  tujuh orang yang akan mewakili dari 30 distrik yang terpilih. Ketujuh pemuka masyarakat Tana Toraja tersebut adalah Laso' Rinding (Puang Sangalla'), A. D. Andilolo (Puang Makale), Sesa Tandirerung (Kesu'), Isak Tandirerung (Ulusalu, Se'seng, Malimbong), Herman Saba' (Madandan), Salu Rapa' (Nanggala), dan Jusuf Sarungu' (Pangala').

2. Andi Sose, dari Gerilyawan sampai Militer Nasional 

Andi Sose lahir di desa Sossok, Anggeraja-Duri (sekarang masuk wilayah Kabupaten Enrekang) pada tanggal 15 Maret 1930 sebagai putra dari pasangan suami istri bangsawan Bugis Andi Liu dan Andi Sabbe. Setelah kekalahan Jepang yang disusul dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Andi Sose terlibat dalam perjuangan yang bertujuan menentang kembalinya tentara Belanda yang membonceng melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA). 

Tanggal 16 Juni 1946, 19 badan kelaskaran membentuk wadah perjuangan yang diberi nama Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS). Pada tahun 1948 dalam sebuah operasi yang dilakukan oleh tentara Belanda dan dipimpin oleh Kapten Bloemen, Andi Sose tertangkap.10 Dari Enrekang Andi Sose dibawa ke Pare- Pare dan terakhir ditahan di Makassar dengan status tahanan perang. Pada tahun 1949, menjelang pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949, Andi Sose dibebaskan.

Pada tanggal 22 Juni 1950 Kahar Muzakkar tiba di Makassar dan melanjutkan perjalanan ke pedalaman untuk bertemu denganTanggal 1 Juli 1950, Kahar Muzakkar bertemu dengan Kolonel Alex Kawilarang, yang baru menjabat sebagai Panglima T. T. VII/Wirabuana sejak bulan April. Atas nama para gerilyawan ia mengajukan permohonan agar mereka dijadikan Brigade Hasanuddin yang merupakan bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) dan ia selaku komandannya.tanggal 24 Maret 1951, Corps Tjadangan Nasional (CTN) sebagai sublimasi dari KGSS dilantik di Makassar oleh Letkol Kosasih, pejabat Panglima T. T. VII dengan Kahar Muzakkar sebagai komandannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun