Mohon tunggu...
abdul rosyidi
abdul rosyidi Mohon Tunggu...

Asli wong Cirebon. Mahasiswa Pemikiran Islam (PI) fakultas ushuludin ISIF (Institut Studi Islam Fahmina) Cirebon.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan Masres: Agama, Pasar dan Negara

6 Januari 2012   20:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Peran lakon perempuan di atas panggung masres sedikit banyak menggambarkan watak relasi sosial masyarakat di wilayahnya. Keterlibatan perempuan sebagai penari, dalang ataupun sinden di seni pertunjukan ini adalah hal yang baru. Baru sekitar tahun 60-an masres mengadopsi pepakem baru, perempuan memainkan lakon perempuan. Karena dulunya, mengikuti tradisi dari asal daerah seni ini sendiri, Jawa Timur, seluruh pemain diperankan oleh laki-laki.

Jika kita jeli menangkap, maka ada perbedaan saat peran itu harus dilakonkan oleh laki-laki dengan perempuan. Perbedaan tersebut melekat pada penonton juga bisa sangat berarti bagi kontestasi pesempuan masres dan tidak menutup kemungkinan bagi perempuan pada umumnya.

Kontestasi perempuan masres adalah wujud dari geliat perempuan Cirebon untuk menghadirkan kepercayaan diri dan kekuasaan. Di atas panggung, keperkasaan perempuan tampak saat dia dengan mudah mempengaruhi penonton. Mereka dengan kemampuan menyanyi lagu-lagu Cirebonan dengan mudahnya mendapatkan saweran. Posisi panggung yang berada di atas penonton beberapa jengkal juga bisa dimaknai bahwa perempuan bisa saja lebih tinggi derajatnya dibanding laki-laki.

Mungkin masres tidak seperti tandha, keseniankhas di Madura. Dimana perempuan penari tandha, dalam status sosialnya berada jauh di atas pelaku seni laki-laki. Bayaran yang mereka peroleh tiap panggungan sangat berbeda jauh. Tapi kemiripan tersebut mulai tampak juga di masres. Ada fakta yang tidak mungkin disangkal lagi bahwa di satu sisi, masres pelan-pelan sangat membutuhkan perempuan untuk memvisualisasikan cerita dengan utuh, melalui tarian, lakon, kidung, juga alunan lagu Cirebonan. Terlebih lagi, perempuan menjadi nilai lebih karena mampu menarik dan membujuk penonton serta tuan rumah untuk memberikan saweran. Kalau anda tahu nilai saweran untuk pelaku seni, tentu anda akan mengerti bahwa uang ini mempunyai implikasi bagi keberlangsungan kehidupan ekonomi para awak masres yang lain.

Sementara itu di sisi yang lain, perempuan yang bercita-cita menjadi dalang amat sedikit. Hampir sangat jarang sekali. Hal ini mengakibatkan pimpinan masres tidak mempunyai banyak pilihan untuk mendapatkan perempuan masres. Jadilah para perempuan seni ini menjadi sosok yang mempunyai posisi tawar yang paling tinggi dengan pimpinan masres dibanding dengan anggota yang lainnya.

Kontestasinya itu tentu sangat dipengaruhi oleh agama, pasar, dan negara. Sebagai penganjur moral, agama dengan dogmanya memberikan batasan bagi perempuan, apalagi perempuan yang tampil di depan banyak orang. Islam, sebagai agama mayoritas di kawasan ini (yang juga agama partisipan masres) memberikan gambaran yang jelas mengenai aturan ini. Islam memerintahkan setiap hamba perempuan untuk menutupi tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Bahkan, asumsi sebagian penganut bahwa perempuan adalah penyebar kemaksiatan, penebar racun, setan, sumber dari segala dosa dan lain sebagainya masih tumbuh dengan subur.

Dalam watak masyarakat yang tidak terlalu fanatik terhadap agama, perempuan masres tidak terlalu merasa terganggu dengan situasi yang seperti itu. mereka bisa sangat bebas naik panggung dan menjalankan aktivitasnya sebagai pekerja seni. Hal demikian itu tidak serta merta membuat para pelaku masres tidak melakukan ritual-ritual keagaamaan seperti sholat lima waktu, uluk salam, puasa, rajin ke masjid dan lain sebagainya. Semua ritual itu sangat penting sebagai tanda bahwa cara dia beragama tidak kalah religius dari mereka yang bukan pelaku masres.

Cara perempuan masres berkontestasi juga sangat dipengaruhi oleh pasar. Mereka sangat jeli dengan siapa mereka berhadapan dan untuk orang macam apa mereka melakukan suatu eksperimentasi pertunjukan. Walaupun terkadang pimpinan masres mengintruksikan harus bagaimana dia tampil, lagu apa yang harus dinyanyikan, tapi sebenarnya mereka, seperti pelaku masres lainnya telah memahami pekerjaannya. Peacock menyebut situasi ini dengan pertunjukkan telah terbangun sebelumnya.

Tidak perlu ada latihan, skenario detail dan instruksi teknis lainnya. Sutradara atau piminan masres cukup menentukan kombinasi pertunjukan macam apa yang akan ditampilkan. Urusan harus menghadapi watak penonton adalah menjadi kecerdasan tersendiri bagi mereka. Kecerdasan mereka terletak pada spontanitas yang tinggi, daya reaktif yang cepat juga keputusan untuk memiih dan mengambil tindakan yang tepat. Tindakan itu berupa resonansi dan tekanan suara yang sesuai, berbahasa dan tata bahasa yang sesuai dan alur cerita yang sesuai, dan lain sebagianya yang sesuai dengan penonton.

Kontestasi perempuan pun sangat erat kaitanna dengan Negara, dalam hal ini pemerintah dengan UU-nya. RUU APP (Rancangan Undang-undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi) menjadi ganjalan bagi mereka untuk manggung dengan bebas. Karena mereka biasanya memakai kostum zaman kerajaan yang memakai kemben. Kadang sampai sangat mencolok memperihatkan bagian atas payudaranya.

Selain itu untuk dapat mendirikan panggung, masres harus mengantongi SK dari Pemerintah Daerah. Dengan demikian kontrol pemerintah terhadap kesenian ini sangat mudah dilakukan. Mungkin ke depan jika RUU tersebut disahkan, maka seluruh tampilan perempuan masres akanberubah total. Mereka mempertaruhkan keutuhan visualisasi realitas, fakta sejarah yang menjadi inti dan spirit pagelaran masres. Jika terjadi, hal ini tidak menguntungkan mereka sama sekali, karena dalam kehidupan sehari-hari pun, tradisi sudah mengajarkan cara berpakaian yang sopan. Tidak harus sesuai dengan ketentuan dari tradisi masyarakat lain yang harus dipaksakan menjadi undang-undang dengan alasan moralitas. Moralitas itu ada dan melekat bersama masyarakat bukan ada pada peraturan yang indah.

Intinya, harus diakui bahwa tidak ada hal yang baru sama sekali di atas dunia. Begitupun dengan masres. Dia adalah seni yang datang dari luar daerah Cirebon. Setelah tumbuh dan berkembang di Cirebon, masres mengalami perubahan sesuai dengan gerak manusia setempat. Jadilah masres mempunyai karakter yang berbeda dengan daerah lainnya. Dari daerah asal, maupun dari daerah-daerah yang ada di dalam wilayah Cirebon.

Perbedaan masres meliputi banyak hal, dari penyebutan nama, alur adegan, jumlah pemain, lakon, dalan lain sebagainya. Perbedaan ini adalah cerminan bagi keberagaman Cirebon dan itu tidak akan terjadi kalau manusia Cirebon tidak mempunyai watak keterbukaan akan keberbedaan.

Keterbukaan akan keberbedaan inilah yang membawa perempuan dalam posisi yang tidak terbedakan dengan laki-laki. Sehingga seni pertunjukan rakyat yang di daerah asalnya hanya dimainkan laki-laki, di Cirebon dimainkan dengan melibatkan perempuan.

Dalam masres, perempuan-perempuan itu biasanya menempati tiga peran lakon. Yang pertama penari Srimpi (tari pembuka dalam masres), dalang (pemeran lakon) dan Sinden.

Tidak sampai disitu, dalam perkembangannya perempuan menjadi primadona dan bagian tak terpisahkan dari masres itu sendiri. Dari situ akan nampak bagaimana perempuan masres mendapatkan posisinya kembali sebagaimana kehidupan sehari-hari di luar panggung. Kontestasi perempuan masres adalah perjuangan perempuan Cirebon untuk mendapatkan posisi sosial mereka kembali.

Di Cirebon, manusia akan selalu menerima dengan terbuka potensi kultural dari daerah lain. Akan tetapi potensi itu akan berubah dengan sendirinya sesuai watak orang Cirebon. Dengan watak yang demikian, maka sudah seharusnya kita menyadari hal itu untuk kemudian menjadikannya sebagai basis sikap dan tindakan kita. Watak itu adalah tidak memandang buruk ‘yang lain’ the other dalam setiap bentuk relasinya, termasuk relasi budaya kita dan budaya luar, juga relasi laki-laki dan perempuan. Hal ini tentu harus didukung dengan sikap selalu menunda keputusan dari keyakinan diri sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun