Mohon tunggu...
Abdul Mutolib
Abdul Mutolib Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pegiat literasi

Penulis buku teks pembelajaran di beberapa penerbit, pegiat literasi di komunitas KALIMAT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mudik ala-ala, Perjuangan dan Kebahagiaan

15 April 2024   07:07 Diperbarui: 15 April 2024   07:22 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di rest area jalan tol trans jawa, parkiran mobil penuh sesak di saat musim mudik lebaran idul fitri. Tidak sedikit rest area yang menerapkan sistem buka tutup karena berjubelnya kendaraan roda empat yang memasukinya. Berbagai jenis dan kelas mobil pribadi terlihat berjajar di parkiran, mulai dari mobil kelas menengah seperti xenia, avansa, wuling dan sebagainya hingga mobil kelas atas seperti BMW dan mercedes benz hingga lamborghini.

Di rest area, tampilan dan perilaku pemudik terlihat beragam. Di kalangan pria ada yang dengan penampilan seadanya dengan kaos oblong dan celana pendek, ada yamg tampil casual dengan busana bermerek, bahkan ada yang memakai kostum ala santri tradisional dengan kain sarung maupun santri modern dengan baju gamis. Sementara kaum hawa banyak yang terlihat membawa cangklongan tas, mulai dari tas yang biasa hinga yang branded baik made in dalam negeri maupun luar negeri.

Lalu lalang orang di rest area umumnya untuk dua tujuan. Pertama, mencari toilet atau wc atau rest room untuk buang air kecil atau air besar yang sudah tidak tertahankan. Kedua, mencari tempat kuliner guna mengisi perut yang sudah lapar atau sekedar mencicipi ragam kuliner yang ada atau minum kopi untuk menghilangkan kantuk. Kelas kuliner yang dituju juga beragam. Ada yang menyasar kuliner pujasera (pusat jajanan rakyat) dengan harga yang relatif terjangkau. Ada pula yang mengincar kuliner berkelas nan mahal yang terkenal baik ala nusantara maupun ala global.

Di setiap liburan hari raya Idul Fitri, pemudik tidak hanya memadati jalan tol. Jalur jalan arteri juga selalu dipadati oleh pemudik dengan kendaraan umum, mobil pribadi hingga motor yang menyuguhkan berbagai pemandangan dan fenomena menarik. Ada yang rela direpotkan oleh barang bawaan dan naik kendaraan umum menempuh perjalanan hingga 12 jam lebih. Ada yang naik kendaraan pribadi bersama keluarga dengan tumpukan barang bawaan yang menggunung di atas atap mobil. Ada pula yang naik motor dengan penumpang dan bawaan yang over kapasitas.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan keppo dalam pikiran kita. Lebih bahagia manakah kiranya mereka yang bisa mudik menempuh perjalanan nyaman dengan mobil mewah dan punya uang untuk melintas di jalan tol dan mereka yang mudik penuh perjuangan dengan alat transfortasi umum atau kendaraan pribadi yang kurang memadai?

Sebelum membahas jawaban atas pertanyaan tersebut, semua pasti setuju kalau bisa mudik di momen lebaran merupakan kebahagiaan tersendiri. Bahkan Pak Bas, panggilan khas Menteri PUPR saat ini, mengatakan bahwa mudik adalah the real Happines (Okezone.com, 11/04/2024).

Mudi bukan sekedar tradisi dan "kewajiban sosial" tetapi menjadi kebutuhan psikologis primordial untuk memuaskan kerinduan yang kuat kepada keluarga dan hal-hal yang menjadi momori masa silam terutama masa-masa tumbuh kembang sebagai anak-anak hingga dewasa. Inilah yang menyebabkan banyak orang seakan-akan tidak ada "kapok-kapok"nya untuk melakukan mudik meskipun penuh dengan perjuangan.

Nah, sekarang kita kembali pada pertanyaan awal dalam tulisan ini. Jawabannya menurut hemat penulis tidak bisa hitam putih. Mereka yang melakukan mudik dengan penuh kemudahan dan bisa berbagi cerita-cerita indah belum tentu lebih bahagia dari mereka yang mudik dengan penuh perjuangan.

Mengapa bisa demikian? Hal itu karena kebahagiaan sangat terkait dengan persepsi diri dan cara memaknai realitas. Kebahagiaan juga sangat terkait dengan kemampuan seseorang bersikap relistis dan tidak memaksa diri. Oleh karena itu kebahagiaan sering dikatakan bersifat subyektif.

Nah, penjelasan sederhananya seperti ini. Meskipun seseorang mudik dengan banyak keterbatasan, jika ia memiliki persepsi positif tentang dirinya, bahwa apapun raihan hidupnya harus disyukiri dan keterbatasan bukanlah kelemahan dan harus selalu dinikmati dengan kebahagiaan dan tidak perlu diratapi, maka dengan sendirinya dia merasa bahagia atau merasakan feeling good.

Sebaliknya seseorang yang mudik dengan penuh kemewahan, bisa jadi ia masih merasa kurang dan tidak puas dengan kondisi dirinya. Ia merasa masih jauh dari target capaiannya dalam hal materi, dan belum mampu bersaing dengan banyak orang untukl menjadi terbaik di antara mereka. Dalam kondisi psikologis seperti itu siapapun tidak akan merasakan kebahagiaan yang sebenarnya. Ia terjepit di antara dua kekhawatiran atau kegelisahan. Pertama, kekhawatiran tidak bisa menaikkan level kesuksesan materinya. Kedua, kekhawatiran menurunnya capaian materinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun