Mohon tunggu...
Abdul Mutolib
Abdul Mutolib Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pegiat literasi

Penulis buku teks pembelajaran di beberapa penerbit, pegiat literasi di komunitas KALIMAT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur, Negeri Maju tapi Tidak Sekuler

22 Desember 2020   08:16 Diperbarui: 22 Desember 2020   08:28 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah baldatun toyyibatun wa Rabbun ghafur  adalah istilah yang sering kita dengar dalam konteks kehidupan bernegara. Istilah ini umumnya diterjemahkan "negeri yang baik yang diampuni Tuhan". Pada zaman Orde Baru sering disandingkan dengan ungkapan jawa "gemah ripah loh jinawi" yang memiliki arti "tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya".

Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur adalah gambaran dan cita-cita berbangsa dan bernegara yang pasti lekat di benak setiap orang muslim. Karena konsep ini merupakan konsep kehidupan sosial yang diperkenalkan oleh Al-Qur'an dalam Surat As-Saba' ayat 15:

Sungguh, bagi kaum Saba' ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun." (QS. As Saba':15)

Dalam kajian tafsir, kata baldatun berasal dari kata balad yang artinya tempat sekumpulan manusia hidup. Dalam kamus Hans Wehr kata tersebut diterjemahkan dengan country, community, village.

Ungkapan "baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur" pada ayat ini dimunculkan oleh Al-Qur'an untuk menggambarkan keadaan negeri Saba' di Yaman (dalam peta geografi modern terletak di wilayah Yaman dan Oman). Kerajaan yang berdiri sejak tahun 1300 SM itu dinisbatkan kepada leluhur mereka yang bernama Saba' bin Yasjub bin Ya'rib bin Qahtan. Kaum Saba' sendiri diperkirakan hidup sekitar 1000 -- 115 SM.

Negeri Saba' dikenal sebagai negeri yang makmur. Menempati wilayah hijau, negeri ini mendapatkan hasil pertanian yang melimpah sehingga memiliki ketahanan pangan yang sangat kuat. Ketersediaan pangan tidak hanya melimpah, bahkan di eksport ke luar negeri.

Kemajuan dan kemakmuran negeri saba' dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, yaitu:

1. Letak geografis

Negeri Saba' terletak di wilayah Yaman atau wilayah Jazirah Arab bagian selatan. Pada waktu itu wilayah bagian selatan dari Jazirah Arab lebih maju dari wilayah bagian utara. Menurut catatan Sami bin Abdullah Al-Maghluts dalam Athlas Tarikh al-Anbiya' wa ar-Rasul, Ibu kota negeri Saba' yaitu kota Ma'rib terletak dengan sungai Adanah. Daerah itu merupakan titik yang sangat tepat untuk membangun bendungan. Kaum saba' memanfaatkan keuntungan geografis ini dengan membangun bendungan Ma'rib untuk membangun sistem pengairan.

Bendungan Ma'rib merupakan salah satu monument terpenting dari kaum Saba'. Konsep dan konstruksi bendungan M'arib menjadi indikasi penting tingkat teknologi kaum Saba'. Diperkirakan bendungan Ma'rib mulai dibangun dalam bentuk yang sederhana antara tahun 1750-1700 SM kemudian diperbaiki pada sekitar abad 5 -- 6 M.  Bendungan ini menampung air dari bukit Balaq dan lembah Adhanah. Ketinggiannya mencapai 16 meter dengan panjang 620 meter dan dapat mengairi 9.600 hektar.   

Kondisi ini menjadikan mereka benar-benar mencapai kemakmuran yang sangat tinggi. Ibu kota Ma'rib menjadi salah satu kota termaju saat itu. Sistem pengairan yang dibangun menjadikan Saba' menjadi negeri yang hijau royo-royo dengan perkebunan yang subur dan menghasilkan komoditi yang memakmurkan masyarakatnya. Dari perkebunan ini, Saba' menjadi pusat perdagangan. Daerah atau kota yang berada di sekitarnya, banyak membeli hasil perkebunan dari saba' dan memasarkannya ke negara atau daerah lain.  

2. Kepemimpinan

Selain menceritakan kemakmuran negeri Saba' yang akhirnya dihancurkan oleh Allah, Al-Qur'an juga menceritakan salah satu pemimpinnya yaitu Ratu Bilqis. Ia diperkirakan lahir pada tahun 960 SM. Hasan Al Bashri dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir mengatakan bahwa pemimpin negeri Saba' bernama Ratu Bilqis bin Syarahil bin Dzil Jadn.

Dari kisah yang dituturkan Alqur'an (Surah An Naml) tentang Ratu Bilqis dan catatan sejarah yang ada, banyak penulis yang menyimpulkan bahwa Ratu Bilqis adalah pemimpin yang memiliki pengaruh besar terhadap rakyatnya. Ia sangat dihormati dan setiap keputusan yang dikeluarkan ditaati oleh rakyatnya.

Ratu Bilqis juga merupakan seorang pemimpin yang cerdas dan demokratis, selalu mengajak musyawarah dan menerima aspirasi dari para pembesar atau tokoh-tokoh masyarakat. Dikisahkan ketika Ratu Bilqis menerima surat dari Nabi Sulaiman, ia mengumpulkan para pembesarnya untuk diajak musyawarah. Kecerdasan Ratu Bilqis terlihat ketika ia memberikan pertimbangan kepada para pembesarnya yang cenderung ingin merespon surat Nabi Sulaiman dengan melakukan perang dan perlawanan. Ratu Bilqis memikirkan akibat atau konsekuensi dari peperangan dengan berkata, " Sesungguhnya raja-raja apabila menaklukkan suatu negeri, mereka tentu membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina. Dan demikian yang akan mereka perbuat."(QS. An-Naml:34).

Ratu Bilqis pun memutuskan untuk tidak berperang dan merespon Nabi Sulaiman dengan berdiplomasi dan mengirim hadiah sebagai simbol ajakan perdamaian agar rakyat tidak menjadi korban dari peperangan.        

3. Ketaatan pada Allah

Kaum saba' telah dikenal sebagai bangsa yang beradab dalam sejarah. Jadul Maula dalam kitabnya Qashas al-Qur'an menyebutkan bahwa dalam prasasti para penguasa Saba' sering digunakan kata-kata seperti memperbaiki, mempersembahkan, dan membangun. Tentu hal ini mengindikasikan bagaimana kemajuan peradaban mereka pada saat itu.

Selain itu tercatat pula dalam sejarah sebagaimana dicatat oleh Sami bin Abdullah Al-Maghluts, penduduk Saba' adalah penduduk yang senantiasa tunduk dan patuh dalam menjalankan perintah Allah, bebas dari kesyirikan dan kedzaliman, mengembangan sikap dan perilaku jujur dalam berkata dan bekerja. Sehingga mereka mendapat ganjaran dari Allah berupa taufiq yaitu peningkatan nilai amal mereka.

Ketaatan dan kedekatan mereka kepada Allah Swt setelah mereka menerima dakwah Nabi Sulaiman as, dan pemimpinnya yaitu Ratu Bilqis mengikuti ajaran Allah Swt.

Namun setelah mereka bergelimang kemakmuran, sedikit demi sedikit kecintaan kepada dunia melalaikan mereka. Mereka menjadi ingkar dan kufur kepada Allah. Mereka menerapkan kehidupan sekuler yang dipenuhi kemaksiatan serta jauh dari Allah Swt. Allah Swt telah mengutus tiga belas nabi kepada mereka untuk menyeru mereka kepada Allah dan mengingatkan mengingatkan nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka serta mengingatkan azab Allah jika mereka tidak berhenti dari kekufuran. Akan tetapi mereka mendustakan para utusan tersebut. Mereka mengatakan, " Kami tidak mendapatkan kenikmatan ini  Allah. Katakan kepada Tuhan kalian, cegahlah kenikmatan ini dari kami kalau mampu." (Tahdzib Tasir Al Baghawi,h.967)   

Allah pun mencabut kemakmuran yang mereka nikmati dan menggantikannya dengan penderitaan. Jebolnya bendungan Ma'rib karena banjir besar adalah wasilah sirnanya kemakmuran negeri Saba'. Peristiwa jebolnya bendungan yang menjadi icon peradaban kuno Yaman ini terjadi pada tahun 542 M. Akibat dari peristiwa itu, kebun-kebun yang terletak di sekitarnya yang telah mereka nikmati ratusan tahun menjadi luluh lantak. Hancurnya bendungan ini membalikkan kondisi negeri Saba' yang tadinya makmur berubah menjadi negeri yang tandus dan gersang. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun