Mohon tunggu...
Abdullah Umar
Abdullah Umar Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Hukum dan Politik

Mahasiswa Jurusan Hukum di Cairo University, Mesir

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Uji Materi Presidential Threshold, Denny Indrayana, dan Kepentingan Politik di Belakangnya

22 Juni 2018   22:26 Diperbarui: 22 Juni 2018   22:24 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Menjelang masa pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pilpres 2019 yang dimulai 4-10 Agustus 2018, sekelompok orang yang terdiri dari akademisi, aktivis, mantan pejabat dan badan hukum (Indrayana Centre) mengajukan kembali uji materi ke Mahkamah Konstitusi tentang ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu. 

Mereka menolak adanya batasan (ambang batas / Presidensial Threshold) minimal bagi calon presiden harus didukung partai politik atau gabungan partai politik 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional. 

Jika kita bisa melihat lebih teliti siapa saja pemohon uji materi dan begitu bernafsunya ambang batas (PT) ini diuji berkali -- kali walau sudah berkali-kali pula ditolak MK, maka uji materi kali ini lebih terkesan politis dibanding upaya menjaga konstitusi negara.

Pertama, kuasa hukum dari para pemohon adalah Denny Indrayana, akademisi yang kemudian menjadi pejabat di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebelum ia menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM di era SBY, Denny juga diangkat menjadi Staf Khusus SBY bidang hukum. 

Yang menarik saat ketentuan ambang batas dipersoalkan menjelang Pilpres 2009 (saat itu SBY akan kembali maju untuk periode kedua), Denny menjadi orang yang berada di "garda depan" untuk ambang batas pencalonan presiden harus tetap dipertahankan.

Pada pemberitaan di media kompas.com tertanggal 17 Februari 2009, Denny dengan jelas mengatakan, MK harus konsisten menolak permohonan uji materi yang ingin menghilangkan ambang batas pencapresan. 

Menurutnya, penentuan ambang batas juga merupakan ranah dari DPR sesuai amanat UUD 1945. Selain itu, Denny menyampaikan, ambang batas pencapresan merupakan norma hukum yang memungkinkan lahirnya sistem presidensial yang efektif, yaitu presidensial yang mendapatkan dukungan politik cukup kuat dari parlemen.

Melihat Denny yang sangat "disayang" dan "andalan" SBY (Ketum Partai Demokrat) bisa dimengerti bila hari ini, Denny bertindak sebaliknya yaitu ingin menghapuskan ambang batas pencapresan. 

Kita tahu, Partai Demokrat sangat bernafsu untuk mengajukan putra SBY, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai capres, namun terbentur PT karena Demokrat hanya memiliki 7 persen suara di DPR. Lobi -- lobi politik Demokrat dengan partai lain untuk mau mengusung AHY pun hingga kini belum membuahkan hasil. Dari sini kita bisa melihat uji materi sebenarnya syarat akan kepentingan politik.

Kedua, alasan yang digunakan pemohon masih sama dari uji materi yang pernah dilakukan MK, yaitu seputar ambang batas (PT) tidak sesuai dengan desain pemilu serentak. Sebelumnya, MK telah memutus 10 permohonan uji materi tentang ambang batas pencapresan, yang semuanya diputuskan bahwa PT tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan justru memperkuat sistem presidensial. 

Mantan Ketua MK Mahfud MD bahkan menilai, uji materi ini lebih bersifat politis karena pemohon juga meminta MK memutus uji materi sebelum pendaftaran capres 2019 dimulai. Menurut Mahfud itu sangat sulit dilakukan karena proses uji materi wajarnya memakan waktu lebih dari satu bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun