Sementara itu, dalam kisah kedua, La Sampela berhasil membebaskan kaumnya dari gangguan penduduk setempat. Namun, berbeda dengan La Ode Wuna yang akhirnya meninggalkan Tanjung Sial dan menetap di pedalaman Pulau Seram, La Sampela memilih tetap tinggal di Tanjung Sial.
Menariknya, kedua kisah ini memiliki kesamaan dalam hal tokoh dan latar kekuasaan. Orang dan pemimpin negeri yang terlibat berasal dari kerajaan yang sama, yaitu Kerajaan Sahulau di pedalaman Pulau Seram.
Kerajaan Sahulau
Menurut tradisi lisan, Sahulau merupakan salah satu dari empat kerajaan di pedalaman Pulau Seram, bersama dengan Manusela, Hoaulu, dan Maneo. Dalam struktur sosial kerajaan-kerajaan tersebut, Sahulau dan Manusela dianggap sebagai kakak (sulung) dan mendapat penghormatan dari dua kerajaan lainnya, Hoaulu dan Maneo (Bartels 2011: 4).
Dalam mitos Boiratan, Sahulau disebut sebagai kerajaan tertua yang pernah berkuasa atas seluruh Pulau Seram sebelum akhirnya berada di bawah kendali Kesultanan Ternate pada abad ke-16. Dalam beberapa peperangan di Maluku, Raja Sahulau bahkan pernah menyediakan pasukan berjumlah sekitar 11.350 orang untuk membantu VOC (Belanda).
Mitos Boiratan juga mengisahkan bahwa ketika Hasanilalo diangkat menjadi Raja Sahulau, beberapa kerajaan tetangga datang membawa hadiah sebagai bentuk penghormatan: Ternate membawa kuming kelapa, Tidore membawa hutung, Jailolo membawa bawang laut, Bacan membawa sagu, dan Buton menghadiahkan perahu bercadik lepa-lepa. Namun, tak lama setelah peristiwa tersebut, kehidupan rakyat Sahulau mengalami penderitaan, hingga akhirnya kerajaan ini jatuh ke tangan Ternate. Seorang kolano pun diutus untuk memerintah Sahulau atas nama Sultan Ternate (Bartels 2011: 4-10).
Dalam hubungan dengan Buton, orang Alifuru memandang orang Buton---yang memiliki keterkaitan asal-usul dengan La Ode Wuna dan La Sampela---sebagai bagian dari keluarga mereka. Bahkan, dalam struktur pemerintahan Kerajaan Sahulau, tercatat bahwa keturunan bangsawan Buton pernah menjabat sebagai Malesi Iralo, yakni pimpinan tertinggi para kapitan di Sahulau (Bartels 2011: 34).
Dua kisah tersebut terus diwariskan secara lisan kepada generasi baru di pesisir barat Pulau Seram sebagai bagian dari upaya menjaga ingatan kolektif mengenai kedatangan serta hubungan antara orang Buton dan penduduk setempat (Alifuru).
Kisah La Ode Wuna dan La Sampela mencerminkan dinamika hubungan antara Buton dan Pulau Seram yang dimulai dari ketegangan, tetapi akhirnya berujung pada ikatan persaudaraan. Kisah La Ode Wuna menyoroti aspek kekuasaan, di mana ia diangkat menjadi raja di Sahulau. Sementara itu, kisah La Sampela lebih menekankan pada perjuangan membela kaumnya hingga akhirnya menjalin hubungan pela-gandong dengan Kapitan Mursego.
Sejarah ini mengajarkan bahwa keberagaman tidak selalu menjadi sumber perpecahan, tetapi bisa menjadi fondasi persatuan jika dikelola dengan kebijaksanaan. Hubungan Buton dan Seram, yang diwariskan melalui mitos dan tradisi lisan, menjadi contoh bagaimana dua kelompok etnis yang awalnya bertikai dapat membangun persaudaraan yang kuat melalui nilai-nilai lokal yang mereka junjung bersama.