Mohon tunggu...
Abd Rahman Hamid
Abd Rahman Hamid Mohon Tunggu... Sejarawan - Penggiat Ilmu

Sejarawan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Visi Akademik Profesor Susanto Zuhdi

15 Mei 2023   14:00 Diperbarui: 15 Mei 2023   14:34 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis bersama Profesor Susanto Zuhdi di Kampus UI Depok 13 Mei 2023 (Foto ARH)

Menulis Sejarah yang Terabaikan 

Visi ini tampak pada tesis Zuhdi tentang Pelabuhan Cilacap. Mengutip pendapat Thomas Lindblad, sejarawan asal Belanda, Cilacap adalah pelabuhan "salah letak" di pantai selatan Jawa dalam jaringan Samudra Hindia. Pada umumnya pelabuhan di Jawa terletak di pantai utara dalam sistem Laut Jawa. Kenyataan itu membuat sejarah Cilacap dan pelabuhannya makin terabaikan. Namun, penelitian Zuhdi menemukan bahwa Cilacap merupakan saingan bagi pelabuhan lain di pantai utara Jawa yang posisinya tepat, seperti Semarang dan Cirebon. Cilacap bersaing dengan Cirebon dalam impor beras dan kedelai; juga bersaing dengan Semarang dalam ekspor gula. Cilacap merupakan pelabuhan paling ramai di Jawa dalam kurun 1909-30. Komoditas ekspornya adalah gula, kopra, karet, teh, dan sebagainya. 

Kendati dipandang salah letak, Pelabuhan Cilacap sangat penting dan strategis menjelang Perang Pasifik di Jawa. Ketika pasukan Jepang menduduki Jawa, Cilacap berfungsi sebagai tempat pengungsian bagi personel sipil dan militer Hindia Belanda sebelum berangkat ke Australia dan Kolombo (Srilangka). Kapal-kapal Belanda digiring ke Cilacap setelah kerusakan pelabuhan Surabaya dan Tanjung Priok akibat serangan Jepang. Seluruh hubungan laut di Jawa bergantung pada Cilacap. Kalau begitu, Cilacap seharusnya tidak terabaikan dalam sejarah. 

Apabila dalam tesisnya Zuhdi belum mengemukakan visinya secara eksplisit, maka dalam disertasinya visi itu tersurat jelas seperti petikan kalimat, "Sejauh ini, sejarah Buton baru dilihat dari perspektif Gowa dan Ternate. Itulah sebabnya jika tetap berpe-gang pada pandangan hegemonik saja, sejarah Buton sungguh terabaikan dari peta penyelidikan sejarah Indonesia" (Zuhdi 2010: 3). Selanjutnya, di bagian lain ia menulis,


Selain diharapkan bertambahnya the body of knowledge [ . . . ] kajian ini juga bermaksud menjawab problematik sejarah yang terabaikan. Dengan demikian, maka "sejarah pulau yang terabaikan" (dalam hal ini "pulau" Buton), dilengkapi dengan kajian "pulau (pulau) sejarah yang terabaikan" (neglected islands of history) (Zuhdi 2010: 10).  

Dalam penerbitan disertasinya, Sejarah Buton yang Terabaikan (2010, 2018), Zuhdi menegaskan kembali visinya. Dalam historiografi Indonesia Timur, sejarah Buton masih terabaikan karena tiga faktor penyebabnya. Pertama, Buton terjepit di antara Gowa dan Ternate; kedua, Buton pernah bersekutu dengan VOC/Belanda; dan ketiga, konsekuensi-nya terjadi pengucilan terhadap Buton dalam historiografi yang cenderung berpihak pada pihak yang "menang." Dinyatakan lebih lanjut, 

Adalah jelas sekali bahwa berakhirnya penjajahan Belanda ditandai dengan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Jika persekutuan Buton dan VOC dilihat sebagai kesinam-bungan sejarah, maka Buton berada pada pihak yang "kalah." Bahkan secara ekstrem orang Buton dianggap sebagai "pengkhianat." Stigmatisasi seperti itu masih belum terhapus sepenuhnya hingga sekarang (Zuhdi 2010: 14).

Dalam suatu kesempatan bimbingan disertasi, Prof. Santo pernah mengatakan bahwa sebelum diangkat sejarahnya, orang Buton memandang dirinya "belum ada apa-apanya." Namun, setelah penelitian Prof. Santo, barulah orang Buton merasa "punya sejarah." Maksud kalimat terakhir adalah bahwa sering kali pribadi atau kelompok terabaikan dalam sejarah bukan karena memang begitu adanya pada masa lalu, tetapi karena sejarahnya belum ditulis. 

Masa silam yang ada "di sana" tidak akan hadir "di sini" tanpa ada upaya untuk menghadirkannya. Dan upaya itulah yang dilakukan oleh sejarawan. Taufik Abdullah, sejarawan senior, mengatakan bahwa sejarah tidaklah ada dengan sendirinya. Sejarah adalah hasil dari usaha untuk merekam, melukiskan, dan menerangkan peristiwa di masa lalu. Bisa jadi sejarah adalah sebuah hasil yang sejujur mungkin ingin merekam dan "merekonstruksi" ingatan, baik yang kolektif maupun yang pribadi, tetapi mungkin juga sejarah bermaksud "menemukan kembali" peristiwa (apa, siapa, di mana, dan bila) yang telah terkubur dalam impitan zaman. Sejarah adalah hasil yang didapatkan dengan sengaja ketika berbagai pertanyaan tentang masa lalu telah dirumuskan. Dengan demikian, "sejarah" sesungguhnya ditentukan oleh jenis pertanyaan yang telah dirumus-kan (Abdullah 2001: 98-9).

Suatu tanyaan lahir dari rasa ingin tahu dan keprihatinan intelektual mengenai masa silam pribadi atau kelompok tertentu. Apakah benar Buton "pengkhianat" karena pernah bersekutu dengan VOC/Belanda dalam abad ke-17? Tanyaan ini bisa dilanjutkan, "berkhianat kepada siapa." Sering kali orang menggunakan cara pandang sekarang dalam melihat masa silam. Padahal, Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa belum lahir ketika Buton dinilai "berkhianat" itu.

Tidak puas hanya menulis disertasi, Zuhdi mengembangkan salah satu bab studinya itu menjadi penelitian lanjutan untuk meninjau kembali stigma pejoratif Buton sebagai "pengkhianat" dalam sejarah Tanah Air. Bersama Muslim A. R. Effendy (bimbingannya di Program S-3 Sejarah UI; sekarang Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan), Zuhdi menulis tentang Perang Buton versus Kompeni Belanda (1752-76) dengan fokus pada kepahlawanan La Karambau. Penelitian itu menemukan bahwa

Dalam sejarah Indonesia, Buton tidak hanya disebut secara sekilas, tetapi juga tidak diketahui bahwa sesungguhnya Buton pernah melakukan perlawanan terhadap VOC. Kenyataan sejarah itu tentu saja bertolak belakang dengan anggapan yang selama ini dikenal bahwa Buton merupakan sekutu VOC (Zuhdi dan Effendy 2015: 4).   

Tentang kiprah Sultan Buton dua periode (1752-55 dan 1760-63), antara lain dilukiskan,

La Karambau, Sultan Himayatuddin, Oputa Yikootiga nama dalam personifikasi seorang pribadiadalah sosok yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kebebasan dan kemerde-kaan dari kekuasaan asing (VOC) dan tidak pernah menyerah hingga akhir hayatnya (Zuhdi dan Effendy 2015: 119).

Disertasi dan buku tersebut menjadi bahan utama pengajuan La Karambau sebagai calon pahlawan nasional dari Provinsi Sulawesi Tenggara, yang sampai saat itu belum punya pahlawan nasional. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 120/TK/Tahun 2019, tanggal 7 November 2019, La Karambau Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi Oputa Yii Ko ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional yang ke-181. Penetapan ini bermakna penting bagi Buton. Betapa tidak, daerah itu sering dianggap "sekutu abadi" Belanda. Dengan penetapan pahlawan nasional itu, jelas Buton bukanlah sekutu abadi kompeni karena Himayatuddin berperang melawan musuh sehingga cukup kuat alasan untuk menjadikannya pahlawan nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun