Mohon tunggu...
Abdi Husairi Nasution
Abdi Husairi Nasution Mohon Tunggu... Editor - Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Menulis membuat saya terus belajar tentang segala hal dan melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita Sebaiknya Belajar dari Malaysia

19 Agustus 2010   08:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:53 1459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_231786" align="alignright" width="300" caption="Sumber gambar: http://sambalpedas.com"][/caption] Malaysia kembali cari gara-gara dan buat marah orang Indonesia. Gara-garanya, tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepulauan Riau ditangkap oleh Marine Police Malaysia (MPM) di perairan Tanjung Berakit, Bintan, saat mengamankan nelayan liar dari Malaysia yang menangkap ikan di perairan Indonesia, Jumat minggu lalu. Bahkan, polisi laut Malaysia mengeluarkan tembakan peringatan di perairan Indonesia agar petugas DKP Kepri mengembalikan sejumlah kapal beserta nelayan Malaysia tersebut. Aksi protes dan demonstrasi anti Malaysia pun bergaung di mana-mana, termasuk aksi protes di depan Kedubes Malaysia di Jakarta beberapa waktu lalu, sampai-sampai pemerintah Malaysia mengirimkan nota protes ke pemerintah Indonesia. Sepertinya Malaysia tak kapok-kapok membuat marah orang Indonesia. Mulai dari pencaplokan Pulau Sipadan dan Ligitan, klaim Angklung dan Batik sebagai kekayaan budaya mereka, hingga insiden Jumat kemarin itu. Dan saya yakin, Malaysia akan terus begitu, karena Malaysia merasa di atas angin. Mereka merasa lebih baik ketimbang Indonesia. Sadar atau tidak kita harus mengakui hal itu. Bila dibanding Indonesia, lompatan kemajuan Malaysia lebih jauh ketimbang Indonesia. Kemajuan yang dicapai oleh Malaysia hampir merata di semua bidang. Mulai dari perekonomian, pertahanan dan keamanan, hingga pariwisata. Coba bandingkan dengan pencapaian Indonesia di ketiga bidang itu, apakah seimbang? Perekonomian malaysia lebih maju, pendapatan per kapita penduduknya lebih tinggi dibanding penduduk Indonesia, dan secara de facto, Malaysia itu lebih makmur daripada Indonesia. Demikian pula dengan sistem pertahanan dan keamanan mereka. Malaysia punya persenjataan atau alutista (alat utama sistem senjata) yang lengkap dan canggih, sehingga mereka mampu mengamankan wilayah negaranya. Coba bandingkan lagi dengan Indonesia, alutista kita sudah banyak yang ketinggalan zaman. Pesawat tempur yang kita punya pun bisa dihitung dengan jari, itupun tak canggih-canggih amat. Jadi, seandainya Indonesia berperang melawan Malaysia, bisa dibayangkan betapa mudahnya mereka mengalahkan kita. Itu baru dua bidang yang saya bandingkan. Kalau dibandingkan dengan bidang lainnya, Indonesia makin kalah jauh. Kalau Anda pernah berkunjung ke Malaysia dan mengunjungi daerah-daerah wisata mereka, Anda akan berdecak kagum. Bahkan si Trinity alias si Naked Traveler sangat kagum dengan Pulau Sipadan dan Ligitan. Pariwisata di kedua pulau itu berhasil dikembangkan oleh Malaysia hingga terkenal ke seantero dunia. Kedua pulau itu makin indah berkat pembangunan yang dilakukan oleh Malaysia. Jadi, tak heran kalau Mahkamah Internasional memutuskan kedua pulau itu menjadi milik Malaysia, meski secara de jure kita yang punya. Bagaimana dengan daerah pariwisata lain? Andai saya sebut satu per satu kita makin jauh ketinggalan meski faktanya daerah wisata kita yang paling banyak. Tapi untuk apa banyak-banyak kalau tak dikelola dengan baik. Malaysia tak punya banyak tempat wisata, tapi mereka kelola dengan profesional sehingga mendatangkan devisa yang mampu mendongkrak pendapatan nasional mereka. Agaknya kita perlu belajar banyak dari negeri serumpun itu. Untuk apa kita marah-marah, seharusnya tindakan Malaysia itu menjadi bahan introspeksi kita. Kita tak perlu bakar bendera mereka kalau cuma lagu "Rasa Sayange" mereka klaim sebagai lagu mereka. Kita tak usahlah marah-marah kalau cuma angklung dan batik mereka klaim sebagai kekayaan budaya mereka. Apalagi sebagai bangsa yang katanya berbudaya tinggi, kita tak pernah menghargai budaya sendiri. Bahkan kita sendiri tak mampu merawat benda-benda bersejarah yang bernilai tinggi. Kalau kita serius merawat benda-benda bersejarah itu, pasti 87 koleksi Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, tak bakal digondol maling. Dan untuk apa juga kita ngamuk-ngamuk pada Malaysia, berkat mereka, banyak tenaga kerja Indonesia yang mendapat pekerjaan di negeri itu. Kalau dihitung secara matematis, ada berapa keluarga Indonesia yang terselamatkan gara-gara kemajuan perekonomian Malaysia, yang mampu menyerap tenaga kerja kita di sana. Andai tak berubah, kita akan terus dicibir oleh Malaysia, karena mereka memang di atas angin. Hidup Ipin, Hidup Upin. Salam Ipin dan Upin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun