Mohon tunggu...
Abdi Husairi Nasution
Abdi Husairi Nasution Mohon Tunggu... Editor - Penulis lepas, filatelis, numismatis, serta penggiat lari dan sepeda.

Menulis membuat saya terus belajar tentang segala hal dan melatih kepekaan terhadap lingkungan sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[IMLEK] Nian dan Legenda Imlek

20 Januari 2012   17:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:38 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Sejak itu, penduduk desa selalu menghiasi penjuru desa dengan warna merah, menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu. Bahkan, kembang api pun dinyalakan agar Nian tak kembali lagi."

Musim dingin akan segera berakhir, bunga-bunga akan kembali bermekaran dan menghiasi punggung bukit di dekat rumahku. Suasananya akan semakin indah dan romantis. Penderitaan selama musim dingin akan segera berakhir. Memang, musim dingin tahun ini sungguh ekstrim. Aku harus menyiapkan banyak bahan makanan yang cukup dan berbagai perlengkapan untuk mengusir rasa dingin yang menusuk kulit. Baju hangat yang tebal, perapian yang harus tetap nyala, dan kayu bakar yang tetap tersedia untuk perapian. Tak terbayangkan kalau semua itu tak disiapkan, musim dingin akan dilalui dengan banyak penderitaan.

Sungguh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, cuaca tak sedingin tahun ini. "Apakah ini bencana untuk umat manusia? Hmmm entahlah," gumamku dalam hati. Namun, pertanyaan itu tak terjawab, seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku pun harus bergegas ke dapur, menyiapkan makanan untuk Nian. Setiap akhir musim dingin di awal tahun baru, aku dan penduduk desa lainnya harus menyediakan makanan buat Nian. Nian akan marah besar kalau makanannya tak tersedia. Dia selalu lapar. Kalau tak ada makanan yang disediakan, Nian akan memakan ternak, hasil panen, bahkan manusia. Aku selalu bergidik kalau mengingat Nian memangsa manusia. Anehnya, aku tak bergidik kalau bertemu kuntilanak yang menghuni pohon randu di belakang rumahku.

Dengan langkah tergopoh-gopoh, aku bergegas ke dapur. Waktu demikian cepatnya, sebentar lagi matahari terbenam, dan tahun baru pun tiba. Nian akan segera muncul. Syukurlah, makanan untuk Nian selesai, tanpa buang waktu, makanan itu langsung kutaruh di depan pintu rumah. Aku dan penduduk desa berharap Nian, si raksasa buas itu akan memakan makanan yang telah disiapkan sehingga  tidak akan menyerang desaku. Pintu rumah langsung kututup, matahari sudah tak menampakkan dirinya lagi.

Di peraduan, aku menunggu kedatangan Nian dengan harap-harap cemas. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara melengking dari luar rumah. Suaranya begitu keras terdengar sehingga memekakkan telingaku. Aku intip keluar lewat jendela. Kulihat Nian lari tunggang langgang sambil teriak-teriak ketakutan. Nian lari menuju pegunungan. Tak jauh dari tempat Nian berdiri tadi, kulihat seorang anak kecil mengenakan pakaian berwarna merah. Ternyata Nian takut sama warna merah.

Sejak itu, penduduk desa selalu menghiasi penjuru desa dengan warna merah, menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu. Bahkan, kembang api pun dinyalakan agar Nian tak kembali lagi. Dan itu memang berhasil. Nian tak pernah kembali. Namun, beberapa waktu kemudian, terdengar kabar, Nian berhasil ditangkap oleh Hongjun Laozu, seorang Pendeta Tao. Nian kemudian dijadikan kendaraan Honjun Laozu.

Adat pengusiran Nian terus berkembang hingga kutiada, dan menjadi perayaan Tahun Baru Imlek, hingga kini.

****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun