Pada awal abad ke-19, sistem perbudakan masih berkembang pesat, dengan sekitar 600.000 budak diangkut dari Afrika ke Amerika dalam dekade pertama. Namun, gerakan anti-perbudakan mulai muncul, ditandai dengan pelarangan perdagangan budak oleh Inggris dan Amerika Serikat pada tahun 1807, serta langkah-langkah abolisi yang dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin yang baru merdeka, seperti Meksiko, Argentina, dan Chili.Â
Proses penghapusan perbudakan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk gagasan Pencerahan mengenai hak-hak alamiah, revolusi Amerika dan Prancis, perkembangan kapitalisme, serta peran gerakan keagamaan dalam mendukung reformasi sosial. Para sejarawan memperdebatkan motivasi di balik gerakan abolisi, dengan sebagian menekankan aspek idealisme dan sebagian lainnya melihatnya sebagai strategi ekonomi yang menguntungkan kelompok tertentu. Inggris memiliki peran utama dalam gerakan anti-perbudakan melalui jaringan aktivis yang erat dengan Amerika Utara. Organisasi anti-perbudakan juga berkembang di Eropa dan Amerika Latin, meskipun dengan tingkat keterlibatan yang berbeda. Dukungan dari masyarakat umum terlihat dalam bentuk petisi, rapat umum, dan boikot terhadap produk yang dihasilkan oleh tenaga kerja budak.Â
Dalam ranah hukum, perdebatan tentang perbudakan berhubungan erat dengan konsep hukum alam dan hukum internasional. Awalnya, perbudakan dianggap sebagai bagian dari tatanan alam, tetapi pemikiran filsuf seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau menentangnya karena bertentangan dengan hak-hak alami manusia. Kasus Somerset v Stewart (1772) di Inggris menjadi tonggak penting, di mana pengadilan memutuskan bahwa perbudakan bertentangan dengan hukum alam dan tidak diakui di wilayah Inggris.
Upaya internasional dalam menghapus perdagangan budak melibatkan berbagai aktor, termasuk jaringan masyarakat sipil, negara-negara melalui perjanjian dan pengadilan internasional, serta peran penting perempuan dalam gerakan abolisionis. Jaringan transnasional antara kelompok abolisionis di Inggris dan Amerika Serikat berkembang melalui pertukaran informasi, surat, dan publikasi, dengan tokoh-tokoh seperti William Lloyd Garrison, Charles Stuart, dan George Thompson memainkan peran penting. Konvensi Anti-Perbudakan Dunia tahun 1840 menjadi momen penting dalam kolaborasi global ini. Di tingkat antarnegara, Inggris mendorong penghapusan perdagangan budak melalui kebijakan luar negerinya dengan menandatangani berbagai perjanjian internasional, seperti Traktat Ghent dan deklarasi Kongres Wina, yang menyatakan perdagangan budak sebagai tindakan tidak manusiawi. Inggris juga membuat perjanjian bilateral dengan negara-negara seperti Belanda, Portugal, dan Spanyol, mendirikan pengadilan campuran yang berhasil mengadili lebih dari 600 kapal dan membebaskan lebih dari 80.000 budak, meskipun menghadapi kendala prosedural dan penyakit tropis. Selain itu, perempuan memainkan peran penting dalam gerakan abolisionis, terutama di Inggris dan AS, dengan membangun jaringan, mengorganisir petisi, dan mengadvokasi perubahan sosial. Kontroversi di Konvensi London 1840 yang menolak partisipasi perempuan dalam gerakan abolisionis justru mendorong lahirnya gerakan hak perempuan, yang berpuncak pada Konvensi Seneca Falls 1848 di AS, sementara di Inggris, aktivis perempuan lebih fokus pada reformasi sosial secara luas. Di Prancis dan Spanyol, partisipasi perempuan dalam gerakan abolisionis relatif lebih terbatas. Secara keseluruhan, upaya global dalam menghapus perdagangan budak tidak hanya berkontribusi pada penghapusan perbudakan itu sendiri, tetapi juga menjadi cikal bakal munculnya gerakan sosial yang lebih luas, termasuk feminisme awal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI